Ihwal Serdadu Belanda yang Jarang Mandi
JAKARTA - Normalnya, orang-orang yang hidup di negeri tropis seperti Indonesia, sudah tentu memanfaatkan momen mandi untuk membersihkan diri sembari menyegarkan diri di waktu pagi. Ini dilakukan sebagai pembuka aktivitas dan sore hari sebagai penutup aktivitas.
Masalah manfaat mandi secara umum pun banyak, seperti dapat mengatasi bau badan serta lengket rasa di tubuh. Kalau tidak dilakoni, bisa jadi semangat dan konsentrasi akan sedikit terganggu baik empunya tubuh, atau pun orang lain yang dibuat pusing oleh karena belum atau jarang mandi.
Terkait manfaat spesifik, seperti menjaga sistem peredaran darah, melancarkan sistem pencernaan, dan tentu saja menjaga suasana hati pun, sudah tentu didapat. Oleh karenanya, mandi sudah keharusan bagi orang-orang yang berada di daerah tropis. Namun, tidak demikian bagi para serdadu Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dahulu.
Kompeni Jarang Mandi
Dikutip dari Jean Gelman Taylor dalam buku Kehidupan Sosial di Batavia ia mengungkap orang Eropa yang datang ke Batavia pasti akan menganggap aneh kebiasaan mandi dua kali sehari yang biasa dilakukan penduduk lokal, terutama kebiasaan mandi di tepian kanal oleh penduduk asli Batavia.
Dahulu memang sering terlihat di kanal perempuan dan laki-laki beragam usia berendam dan menyegarkan diri dengan air kotor berwarna kecokelatan. Jelas, pemandangan itu membuat mereka -orang Belanda - menjadi malu melihatnya karena hal itu bagi mereka jauh dari norma kesopanan. Apalagi jika terjadi pada kanal di Amsterdam. Uniknya, di Batavia, hal itu terlampau jauh mengikuti norma kesopanan dan dianggap biasa-biasa saja.
“Mereka menjadi malu oleh pemandangan para isteri dan gundik yang mandi di sungai Ciliwung. Apalagi rumah-rumah di Batavia lama memiliki tempat mandi yang dibangun di tepian kanal, dengan kamar tertutup untuk berganti pakaian dan tangga yang menuju ke air” ungkap Jean Gelman Taylor.
Berbeda dengan Jean Gelman Taylor, Alwi Shahab malah menangkap keanehan bukan dari penduduk lokal, tetapi dari orang Belanda sendiri.
Dalam bukunya Batavia Kota Hantu, ia mengunggap ihwal Jan Pieterzoon Coen membangun Batavia, mengikuti hasratnya yang rindu kampung halaman, sehingga ia meniru Kota Amsterdam dengan membangun belasan kanal yang identik oleh berlimpahnya air. Bahkan, hal inilah yang membuat banyak di antara mereka – wisatawan - yang datang pada saat itu menjuluki Batavia sebagai Venesia dari Timur. Anehnya, mereka - kompeni - malah jarang mandi.
Ia mengungkap: “Walau air melimpah di Batavia, para serdadu kompeni yang datang dari Belanda sangat takut pada air dan jarang mandi. Ini sesuai dengan kebiasaan di negeri dingin yang beriklim dingin. Padahal, masyarakat iklim tropis mandi sehari dua kali.”
Terkait fenomena ini, sampai gubernur jenderal pada saat itu – tahun 1775 - mengeluarkan surat keputusan (SK) yang berisi paksaan kepada Soldadoe Garnizun agar mandi sekali sepekan. Hal ini semakin menegaskan kalau budaya jarang mandi sudah mendarah daging bagi mereka orang Eropa, karena masalah mandi pun harus dipaksa gubernur jenderal melalui SK-nya.
“Kita dapat membayangkan bagaimana baunya warga kompeni bila mereka mandi hanya sepekan sekali. Tidak diketahui, apakah pada abad ke-17 dan 18 itu sudah ada handuk untuk membersihkan badan, mengingat mereka mandi sepekan sekali. Sabun pun ketika itu belum ada. Mereka hanya membersihkan badan dengan semacam batu yang pori-porinya terbuka” tambah Alwi Shahab.
Baca juga:
Mulai Beradaptasi
Saat memasuki awal abad 20, tampaknya mandi dua atau tiga kali sehari telah menjadi sebuah pengalaman baru bagi H.C.C Clockener Brousson – serdadu Belanda - sesuai dengan apa yang ia ceritakan dalam bukunya yang berjudul Batavia Awal Abad 20.
Ia menyebut cara mandi di Hindia – Belanda tak lazim buat mereka orang Eropa; “buat kami yang orang Eropa di tangsi itu, ada kamar mandi umum yang besar, di dalamnya terdapat bak semen yang dipenuhi air dingin.”
Bahkan ia turut menjelaskan terkait detail ritual mandi di Hindia yang mengharuskan setiap orang menuju tempat mandi lengkap dengan celana tidur dan kabaja – yakni sejenis kemeja pendek putih - sembari membawa sepotong sabun dan handuk.
“Setelah melepas pakaian, mulailah mengambil seember air dari bak dan menyiramnya ke tubuh. Terus sabunilah tubuh dari ujung kepala hingga ujung kaki. Setelah itu siram kembali dengan air dari ember sebanyak 12 kali sampai bersih dari sabun,” tambah H.C.C Clockener Brousson.
Tradisi mandi ini olehnya ditutup dengan handuk sambil menggogok tubuh hingga kering. Saking menjadi pengalaman menarik baginya, ia turut pula menuliskan terkait mandi yang disebutnya sebagai upacara penyabunan dan pencucian dilakukan dalam tiga waktu.
Yakni, pada pagi hari segera setelah tanda bangun dibunyikan. Jam 11 setelah tugas pagi dan jam 3 sore setelah tidur siang dan sebelum apel sore, yang kebanyakan kamar mandinya dibuat agak jauh.
Hingga akhirnya ia sedikit paham manfaat penting dari ritual mandi, “Kami akhirnya mengerti mengapa tentara tua di Belanda dengan cermat selalu menjaga kebersihan tubuh dan pakaian dalam. Rutinitas ketentaraan di Hindia membiasakan mereka menjaga kebersihan itu karena tidak ada pilihan lain.”
Begitulah yang sempat terjadi di masa kompeni masih menjajah Indonesia. Jika sekarang masih banyak sanak famili, teman sepermainan, atau pun rekan kerja yang jarang mandi, patut diduga –sekali lagi patut diduga - darah kompeni mengalir deras. Kalau bukan keturunan, lalu?