Masyarakat yang Tak Puas UU Cipta Kerja Diminta Ajukan Uji Materi, Pakar Hukum: Presiden Menjebak Publik

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta agar masyarakat yang merasa tak puas dengan UU Omnibus Law Cipta Kerja untuk mengajukan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hanya saja, menurut pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari hal ini adalah sia-sia. 

Menurutnya, permintaan Jokowi agar masyarakat mengajukan uji materi ini sama saja seperti menjebak mereka masuk dalam lingkar kuasanya. Dia bahkan, tak yakin MK nantinya memutus dengan bijak karena menilai lembaga ini baru saja mendapat hadiah dari pemerintah.

"Presiden sedang menjebak publik masuk ke dalam lingkaran kekuasaan presiden. Hakim konstitusi baru saja dapat hadiah masa jabatan yang panjang dari presiden dan DPR, padahal keduanya pihak yang berperkara dalam pengajuan UU ini," kata Feri kepada wartawan, Senin, 12 Oktober.

Adapun yang dimaksud hadiah oleh Feri adalah telah disahkannya revisi UU Mahkamah Konstitusi pada 1 September lalu oleh DPR RI dan Presiden Jokowi telah menandatangani putusan ini pada 28 September lalu. 

Dalam undang-undang yang telah direvisi tersebut terdapat perubahan masa jabatan ketua dan wakil ketua. Jika pada masa sebelumnya, ketua dan wakil ketua masa jabatannya dibatasi selama dua tahun enam bulan, kini, berdasarkan aturan yang baru mereka bisa menjabat selama lima tahun sesuai dalam Pasal 4 Ayat 3.

Selain itu, revisi UU MK juga mengatur hakim konstitusi yang menjabat saat ini bisa terus menjalankan tugasnya hingga 70 tahun asalkan keseluruhan masa tugas tidak lebih dari 15 tahun.

Sehingga, melihat kondisi tersebut, Feri menilai akan sia-sia ketika nantinya ada masyarakat yang mengajukan uji materi. "MK tidak mungkin tidak balas budi presiden," tegasnya.

Meski menyebut akan sia-sia, namun dirinya menilai memang terjadi cacat prosedur dalam proses pembuatan hingga pengesahan UU Cipta Kerja ini. Kecacatan tersebut terbukti dari tak dibagikannya draf perundangan tersebut bahkan terhadap anggota fraksi. 

"Jadi sedari awal, sudah wajib dibagikan, kan azas pembentukan UU berdasarkan azas keterbukaan yang diatur dalam Pasal 5 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011. Jadi cacat prosedurnya sudah parah," tegasnya.

Sebelumnya, pernyataan soal cacat prosedur ini juga telah disampaikan oleh anggota Komisi XI DPR fraksi Partai Demokrat Didi Irawadi Syamsuddin. Menurutnya, ada sejumlah kejanggalan dalam proses pengesahan perundangan ini termasuk tak tersedianya naskah yang akan dibagikan untuk masing-masing fraksi dengan alasan tidak cukup waktu untuk mencetaknya.

Selain itu, ada kejanggalan lain dalam proses pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja yang disinggung Didi yaitu mengenai undangan rapat. Menurutnya, undangan janggal karena disebar hanya beberapa jam sebelum acara dimulai. Sehingga, sangat mengesankan jika Rapat Paripurna ini dipaksakan.

"Padahal jika melihat agenda sebelumnya, rapat itu dijadwalkan 8 Oktober. Tiba-tiba menjadi 5 Oktober, tanpa informasi yang cukup dan memadai," tegas dia.

Terlebih, alasan pimpinan DPR mempercepat rapat itu dikarenakan banyak anggota yang terjangkit COVID-19 juga tak masuk akal. Seharunya, jika alasannya hal itu maka sidang ditunda dahulu hingga semuanya siap untuk mengukutinya.

"Keputusan rapat paripurna RUU Ciptaker sesat dan cacat prosedur," ungkapnya.

Diketahui, dalam konferensi persnya, Presiden Jokowi menyebut aksi demonstrasi yang terjadi pada Kamis, 6 Oktober lalu terjadi karena banyaknya disinformasi dan hoaks yang beredar terkait UU Cipta Kerja. Dia pun memberikan sejumlah penjelasan terkait undang-undang ini, termasuk menegaskan perundangan ini tak akan merugikan bagi kaum buruh karena tak ada hak mereka yang dihapuskan.

Selanjutnya, dia juga meminta semua pihak yang tidak sependapat dengan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Bukan melakukan unjuk rasa yang berujung ricuh.

"Jika masih ada pihak-pihak yang tidak puas terhadap Undang-Undang Cipta Kerja silakan ajukan uji materi, judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK)," kata Jokowi dikutip dari Youtube Sekretariat Presiden, Jakarta, Jumat, 9 Oktober.

Menurut dia, langkah uji materi ke MK diatur dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. "Sistem ketatanegaraan kita memang mengatur hal itu. Kalau ada yang belum puas silahkan sampaikan uji materi," ujar Jokowi.