Memaknai Hari Kartini di Era Digital
JAKARTA - Hari Kartini diperingati setiap 21 April, sesuai dengan hari lahir Raden Ajeng Kartini pada 21 April 1879. Saat ini peran terhadap perempuan di berbagai aspek kehidupan selalu dikaitkan dengan perjuangan RA Kartini, 140 tahun lalu. Ketika berbicara literasi perempuan Indonesia tidak akan lepas dari sosoknya pelopor emansipasi dan feminisme Indonesia.
Sepanjang hidup RA Kartini terus memperjuangkan emansipasi persamaan hak perempuan di Indonesia. Pendidikan merupakan salah satu upaya Kartini untuk mengubah kedudukan perempuan bangsanya.
Dalam bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang terbitan Balai Pustaka, perjuangan Kartini terangkum dalam kalimat, “Jika perempuan itu berpelajaran, lebih cakaplah dia mendidik anaknya dan lebih cakaplah dia mengurus rumah tangganya, dan lebih majulah bangsanya.”
Terlihat bahwa wanita kelahiran Jepara ini menjadikan pendidikan dan ilmu pengetahuan sebagai ihwal yang diperjuangkan demi menuntut adanya kesetaraan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) feminisme didefinisikan sebagai gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki. Secara bebas, feminisme dapat dipahami sebagai klaim pemberdayaan perempuan untuk berpartisipasi melalui berbagai bentuk pendekatan.
Dan feminis adalah seseorang yang menganut feminisme. Dengan pemahaman tersebut, Kartini dapat sebut sebagai seorang feminis. Dia feminis nasional pertama Indonesia. Kartini menuntut bahwa perempuan juga berhak mendapat pendidikan yang sama dengan laki-laki untuk menciptakan generasi perempuan yang intelektual.
Perempuan Pekerja
Saat ini masyarakat menerima peran perempuan dengan berbagai profesi pekerjaan, menjadi pemimpin, atau memilih sebagai ibu rumah tangga.
Menurut data Badan Pusat Statistik 2018, rata-rata pelamar kerja perempuan di Jakarta sebanyak 7.786 orang per bulan, atau separuh lebih dari total jumlah pelamar laki-laki dengan rata-rata 13.268 per bulan.
Walau Jakarta marak dengan perempuan pekerja kantoran, separuh di antaranya lebih memilih menjadi ibu rumah tangga (IRT). Pilihan menjadi IRT tetap dipandang positif oleh masyarakat.
Sepanjang 2018, menurut data BPS, angkatan kerja perempuan di Jakarta mencapai 36,9 persen atau 1,7 juta jiwa. Selebihnya memilih menjadi IRT. Sementara separuh lebih masyarakat lainnya menilai, IRT memiliki peran setara. Hanya 8,6 persen responden yang menilai peran sebagai IRT lebih rendah ketimbang perempuan pekerja.
Dan peraturan perlindungan hak-hak para perempuan pekerja pun, telah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam UU itu tercantum larangan waktu kerja pada malam hingga pagi hari bagi pekerja di bawah usia 18 tahun dan perempuan hamil. Hak libur bagi perempuan pekerja saat masa haid. Hak masa istirahat selama tiga bulan pra dan pascamelahirkan. Hingga kesempatan laktasi di sela-sela waktu kerja bagi perempuan pekerja yang masih menyusui anaknya.
Emansipasi Era Digital
Waktu terus berjalan, ekspresi kebebasan dan emansipasi wanita bermetaformosis dalam ragam bentuk. Wanita pun memasuki lorong era informasi di mana kebebasan tak lagi terkurung dalam ruang dan waktu. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menjembatani setiap individu melihat jendela dunia, dan terkoneksi dengan masyarakat global.
Dan perempuan pun ikut tercebur dalam kemajuan teknologi digital, menyetarakan diri dalam berbagai upaya pemberdayaan. Agar mempunyai keterampilan literasi digital yang memiliki posisi dalam pembangunan dan globalisasi.
Namun perjuangan emansipasi perempuan di era digital ini mengalami banyak tantangan, karena penggunaan teknologi masih dominan dunia laki-laki.
Satu hal yang tidak bisa diabaikan adalah fenomena walau dunia telah memasuki era digital, budaya patriarki masih menjadi tantangan emansipasi dan dunia digital perempuan. Karena seperti telah tersurat teknologi menjadi tugas laki-laki dan merupakan ranah maskulin.
Seperti sebuah takdir bahwa dunia digital tidak ramah kepada perempuan adalah nyata. Karena perempuan saat ini sangat rentan menjadi objek kejahatan dunia maya. Pelecehan seksual secara daring, diskriminasi, kekerasan, hingga disinformasi.
Organisasi keadilan gender di Amerika Serikat, Stop Street Harassment 2018 mencatat 77 persen perempuan mengalami pelecehan di dunia maya. Di Indonesia kasus kekerasan terhadap perempuan di dunia maya meningkat hingga 300 persen sejak 2018.
Literasi digital perempuan Indonesia cukup rendah, sehingga rentan terhadap hoaks kemudian menyebarkannya. Masih banyak perempuan tidak menyaring informasi yang di terima dari media sosial.
Baca juga:
- Dua Tahun Terakhir Kecelakaan di Perlintasan Kereta Api Meningkat: Cermin Disiplin Berlalu Lintas yang Rendah
- COVID-19 Landai, tapi Para Sarjana Masih Susah Cari Kerja: Ada Sejuta Pengangguran Intelektual di Indonesia
- Tawuran dan Kekerasan Remaja Sudah Jadi Isu Kesehatan Masyarakat Dunia, Mari Kita Peduli
- Dunia Maya Rawan Kejahatan Siber, Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi Perlu Segera Disahkan
Untuk lepas dari diskriminasi dan penindasan terhadap perempuan di era digital adalah dengan memaksimalkan pembelajaran. Karena literasi digital bagi perempuan akan meningkatkan pengetahuan, serta kritis mengatasi penyalahgunaan dan ketidakadilan dunia digital.
Tantangan terbesar emansipasi wanita dalam dunia digital adalah: mengalahkan sikap tidak percaya diri perempuan itu sendiri.
Selamat Hari Kartini.