Memori Ramadan: Harmoni Demonstrasi Tritura di Tengah Bulan Puasa

JAKARTA - Aksi demonstrasi mahasiswa 1965-1966 adalah hal yang paling diingat dalam sejarah bangsa. Segenap rakyat Indonesia sudah tak tahan dengan pemerintahan Presiden Soekarno. Kehidupan rakyat dibuat sulit dengan harga-harga yang melambung tinggi.

Apalagi pemerintah dianggap lembek dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) pascagerakan 30 September (G30S). Mahasiswa pun gelorakan Tritura. Jalanan dijadikan panggung utama. Aksi “turun ke jalan” itu bahkan tetap dilakoni pada bulan Ramadan.

Narasi politik sebagai panglima dikenal sebagai ciri utama Pemerintahan Bung Karno. Mimpi besar Bung Karno supaya Indonesia dikenal dunia ada baiknya. Politik mercusuar pun jadi ajian. Soekarno banyak membangun proyek-proyek besar. Dari kompleks olahraga kelas dunia hingga monumen kebangsaan. Antara lain kompleks olahraga Gelora Bung Karno, Monumen Nasional, Monumen Pembebasan Irian Barat, Hotel Indonesia, dan lain-lainnya.

Karenanya, dana yang tak sedikit tersedot banyak untuk proyek itu. Soekarno pun tak lupa memainkan peranan penting di mimbar dunia internasional. Kunjungan ke pelosok dunia acap kali dilakukan Soekarno. Sekalipun kemudian Bung Karno lebih condong ke blok timur (Uni Soviet).

Tindak-tanduk itulah yang membuat Soekarno dikenal dunia. Namun, ada harga mahal yang harus diterima olehnya. Pemerintah yang menjadikan politik sebagai panglima berimbas pada kebijakan ekonomi Indonesia yang amburadul. Apalagi saat “diterkam” resesi ekonomi era 1960-an.

Rakyat pun jadi korban. Harga-harga kebutuhan hidup semakin melonjak. Kondisi itu diperparah oleh ulah menteri-menteri Soekarno yang tak memiliki kepekaan. Mereka tetap melakoni gaya hidup mewah di tengah penderitaan rakyat. Pun pemerintah tampak lembek dengan PKI.

Demonstrasi Tritura 1966. (WIKIMEDIA COMMONS)

Sederet mahasiswa pun tak tinggal diam. Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) jadi yang kelompok yang acap kali melakukan aksi turun ke jalan. Imbasnya, mereka pun melanggengkan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura).

“Namun, harga kebutuhan hidup makin melonjak. Masyarakat merasa gelisah. Demonstrasi-demonstrasi itu umumnya diorganisasikan KAMI yang makin lama tumbuh makin besar dan kuat. Corat-coret dan yel-yel para demonstran itu keras dan menuding pemerintah: Turunkan harga beras, Singkirkan menteri-menteri yang tidak becus, atau Ganyang Subandrio.”

“Wakil Perdana Menteri, Subandrio memang menjadi sasaran, karena ia - yang kemudian mendapat julukan Durno-- dianggap ‘dekat’ dengan PKI. Namun, terhadap Presiden Soekarno, para mahasiswa dan pemuda masih bersikap toleran. Yel-yel ‘Hidup Bung Karno’ masih diteriakkan para demonstran itu. Pada 10 Januari 1966 dicetuskanlah Tri tuntutan Rakyat (Tritura): Bubarkan PKI, Rombak Kabinet Dwikora, dan Turunkan Harga. Aksi-aksi mahasiswa dan pemuda makin menghebat,” ungkap Susanto Pudjomartono dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Cerita-Cerita di balik Supersemar (1986).

Aksi Tritura di Bulan Ramadan

Deklarasi Tritura membuat segenap rakyat Indonesia merasa terwakili. Mereka ikut menggabung diri dalam barisan aksi demonstrasi. Para mahasiswa pun tak cuma melakukan aksi berpusat di satu tempat. Melainkan di banyak titik, mulai dari Istana Negara, Istana Bogor, jalanan Jakarta, hingga gedung-gedung kementerian.

Aksi tersebut mulai dilakoni mahasiswa semejak deklasi Tritura pada 10 Januari 1966. Atau tepat pada bulan Ramadan. Mahasiswa Muslim yang ikut dalam aksi tanpa tak kehilangan semangat.  Sebab, aksi-aksi mahasiswa kala itu dianggap sejalan dengan ajaran dari Bung Karno sendiri.

Aktivis dan mahasiswa angkatan 66, Soe Hok Gie melihat sendiri pengunjuk rasa tak gentar sama sekali. Mereka aktif menyuarakan hati nuraninya dalam mimbar aksi, nyanyian, dan selebaran. Demo di depan Istana negara, misalnya. Mahasiswa sengaja dijaga langsung oleh pasukan pengawal istana (Pasukan Tjakrabirawa). Mereka ditugaskan untuk menghadang dan membubarkan pengunjuk rasa. Namun, tak berhasil membendungnya.

Demonstrasi Tritura 1966. (geheugen.delpher.nl)

Kehadiran panser pun tak membuat nyali pengunjuk rasa ciut. Mereka justru bersiasat untuk serentak tidur di jalanan. Spontanitas itulah yang membuat aparat keamanan mundur dan beberapa bersimpati kepada aksi mahasiswa.

Harmonisasi itu bahkan terlihat dari aparat keamaan yang bersedia menjaga jalannya ibadah sholat zuhur mahasiswa di jalanan. Ibadah itu begitu menyentuh hati segenap rakyat Jakarta. Kalangan mahasiswa non-Muslim apalagi.

“Aku dapat membayangkan betapa jujur dan beraninya mahasiswa-mahasiswa Indonesia. Demonstran ini ingin bertemu dengan Chairul Saleh, master of mind dari kenaikan harga. Dia tidak ada dan para demonstran menantinya.”

“Mereka memblokir Jalan Nusantara, Harmoni, dan duduk-duduk di jalan sehingga agama Islam, menjalankan sembahyang di tengah jalan. Waktru itu adalah bulan puasa. Betapa mengharuskannya. Mereka bersujud pada-Nya di tengah matahari. Mereka berpuasa, mereka menyembah Tuhan di tengah matahari, mereka berpuasa, mereka menyembah Tuhan dan mereka berjuang untuk rakyat yang melarat. Baru pukul 16:30 sore mereka bubar setelah Chairul ke luar,” tutup Soe Hok Gie dalam catatan hariannya yang di buku Catatan Seorang Demostran (2011).