Kembali Dilaporkan ke Dewas KPK, Lili Pintauli Didesak Mundur Dari Jabatannya
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli Siregar didesak untuk mundur dari jabatannya. Desakan ini muncul karena Lili lagi-lagi dilaporkan ke Dewan Pengawas setelah diduga menerima akomodasi dan tiket MotoGP Mandalika dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Dewan Pengawas KPK mengaku sedang menindaklanjuti laporan dugaan gratifikasi yang diterima Lili. Sejumlah langkah sudah dilakukan, termasuk meminta para pihak terkait untuk membawa bukti pemesanan penginapan di Amber Lombok Beach Resort dan tiket MotoGP Mandalika pada Grandstand Premium Zona A-Red.
Sejumlah pihak pun bereaksi menuntut agar Lili mundur dari jabatannya. Salah satu yang menyampaikan desakan ini adalah Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman.
Pegiat antikorupsi ini mengatakan, sudah saatnya bagi Lili untuk mundur karena dianggap membebani dan tak berguna bagi komisi antirasuah. Langkah ini, sambung Boyamin, juga bertujuan demi kebaikan KPK.
"Demi kebaikan KPK maka sudah semestinya LPS mengundurkan diri. Kami berpandangan LPS telah membebani KPK dan sudah tidak berguna bagi KPK," kata Boyamin dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Rabu, 13 April.
Tak hanya itu, Boyamin menilai, pelaporan dugaan gratifikasi ini harusnya menjadi kartu kuning kedua bagi Lili. Sebab, kartu kuning pertama, sudah diberikan oleh Dewan Pengawas ketika ia terbukti melanggar etik setelah berkomunikasi dengan eks Wali Kota Tanjungbalai, M Syahrial.
Tak hanya itu, Boyamin juga menyinggung Lili saat ini masih menjadi 'pasien' Dewan Pengawas KPK terkait dugaan berbohong saat jumpa pers dengan mengatakan tak pernah berkomunikasi dengan Syahrial. Padahal, yang terjadi justru sebaliknya.
Senada dengan Boyamin, Peneliti ICW Kurnia Ramadhana juga menilai Lili seharusnya mundur dari jabatannya jika memang terbukti bersalah melanggar etik, khususnya jika benar menerima gratifikasi.
"Kalau permintaan itu diabaikan, Dewan Pengawas mesti menyurati Presiden agar segera memberhentikan Lili dengan alasan telah melakukan perbuatan tercela sesuai Pasal 32 ayat (1) huruf c UU Nomor 19 Tahun 2019," jelas Kurnia.
Baca juga:
Dewas didesak cepat bertindak
Tak hanya mendesak Lili mundur dari jabatannya, Dewan Pengawas KPK juga diminta untuk segera mengusut dugaan gratifikasi ini. Sikap proaktif, kata Kurnia, harus diperlihatkan oleh Tumpak Hatorangan dkk dalam pengusutan ini.
Ada berbagai cara yang bisa dilakukan oleh Dewan Pengawas KPK untuk menunjukkan bagaimana proaktifnya mereka. Misalnya, mengumpulkan bukti relevan seperti bukti komunikasi, manifest penerbangan, atau rekaman CCTV di Sirkuit Mandalika.
"Selain itu Dewan Pengawas KPK harus segera membawa dugaan pelanggaran kode etik ini ke dalam persidangan etik," tegas Kurnia.
Selain itu, KPK juga harus menyelidiki dugaan pidana dalam pemberian ini. "Sebab, ranah penindakan bukan berada di Dewan Pengawas. Sehingga, dibutuhkan koordinasi antara pihak Dewan Pengawas dengan Kedeputian Penindakan," ujarnya.
Apalagi, jika terbukti menerima gratifikasi Lili bisa dihukum hingga 20 tahun penjara atau bahkan seumur hidup. Sebab, tindakan yang dilakukannya jelas melanggar Pasal 12B UU Tipikor.
"Dan Wakil Ketua KPK itu dapat diancam dengan pidana penjara 20 tahun bahkan seumur hidup," jelas Kurnia.
Begitu juga jika akomodasi dan tiket ini diberikan untuk mengamankan sebuah perkara di KPK. Sama seperti gratifikasi, hukumannya pun tak main-main hingga 20 tahun penjara atau seumur hidup.
Sebagai informasi, pengaduan ini bukan pertama kalinya ditujukan terhadap Lili. Pada 30 Agustus 2021 lalu, Dewas KPK telah menyatakan Lili terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku sehingga dijatuhi sanksi berat.
Dia dinyatakan bersalah melanggar kode etik dan pedoman perilaku berupa penyalahgunaan pengaruh selaku pimpinan KPK untuk kepentingan pribadi dan berhubungan langsung dengan pihak yang perkaranya sedang ditangani KPK, yakni Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial.
Atas perbuatannya, Lili dijatuhi sanksi berat berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan atau sebesar Rp1,848 juta.