3 Cakada Meninggal, Epidemiolog: Indikasi Kuat Pilkada 2020 Timbulkan Klaster Penularan COVID-19
JAKARTA - Berlanjutnya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 di masa pandemi menjadi sorotan publik. Apalagi, saat ini sudah ada 3 calon kepala daerah (cakada) yang meninggal. Mereka adalah bakal calon bupati Berau, Muharram, yang meninggal sebelum penetapan; calon wali kota Bontang Adi Dharma; dan calon bupati Bangka Tengah Ibnu Soleh.
Melihat kejadian tersebut, epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman menyebut, pemerintah seharusnya tak perlu menunggu pelaksanaan Pilkada 9 Desember di mulai untuk melihat dampaknya.
Menurut dia, kematian 3 orang calon kepala daerah tersebut harusnya bisa menjadi salah satu indikasi kuat bahwa pemilihan umum di tengah pandemi ini akan berdampak pada kesehatan masyarakat.
"Sebetulnya indikasi kuat saat ini, sudah menunjukkan bahwa pilkada memang berpotensi menimbulkan bukan cuma klaster tapi jadi double burden atau triple burden untuk daerah yang menjalankannya. Karena kita lihat, sudah ada calon yang terinfeksi bahkan ada yang meninggal," kata Dicky saat dihubungi VOI, Senin, 5 Oktober.
Dengan adanya calon kepala daerah yang meninggal itu, dia mengatakan, pemerintah harusnya bersikap lebih serius terkait pencegahan klaster pilkada daripada sebelumnya.
"Karena ingat, satu kasus kematian itu harusnya sudah jadi tanda adanya hal yang serius," tegasnya.
Lebih jauh, Dicky menyayangkan adanya ungkapan dari seorang menteri beberapa waktu yang menyebut, Pilkada 2020 tak mempengaruhi penularan kasus COVID-19. Dia juga menyoroti pernyataan menteri itu, yang mengatakan hal tersebut terbukti dengan tingginya kasus di DKI Jakarta padahal daerah ini tidak melaksanakan pesta demokrasi lima tahunan.
Menteri yang dimaksud olehnya adalah Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. Diketahui, dalam sebuah konferensi pers yang ditayangkan secara daring, eks Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut menyinggung, Pilkada 2020 tak mempengaruhi terjadinya penambahan kasus COVID-19 di Indonesia. Menurutnya, penambahan kasus COVID-19 di Indonesia ini lebih didasari pada sikap masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan.
Dia mencontohkan Provinsi DKI Jakarta. Kata Mahfud, provinsi yang dipimpin oleh Gubernur Anies Baswedan ini tak ikut menggelar pemilihan kepala daerah tapi angka penularan COVID-19 begitu tinggi bahkan juara satu tertinggi penularannya.
"Di DKI yang tidak ada pilkada justru angka infeksinya tinggi selalu menjadi juara 1 tertinggi penularannya," kata Mahfud, Jumat, 2 Oktober.
Selain itu, Mahfud juga mengklaim ada penurunan zona merah bagi wilayah yang akan menjalankan Pilkada. "Dari 45 daerah menjadi 29 daerah sementara di daerah yang tidak ada pilkadanya zona merah naik dari 25 menjadi 33," ungkap dia.
Dari data itu, Mahfud mengatakan pilkada bukan penyebab penambahan kasus. Sebab, masalah yang lebih penting adalah menambahkan kesadaran masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan.
Menurut Dicky, apa yang disampaikan oleh Mahfud tersebut adalah pernyataan yang terlalu dini dan tak berdasarkan argumen yang kuat dan valid pada data epidemiolog. Dia menilai, perbandingan ini tepat jika daerah yang akan menjalan pilkada telah melakukan pengujian secara masif seperti yang sudah dilakukan di Jakarta.
Terkait jumlah tes di DKI Jakarta, selama tiga pekan berturut pada September lalu, pengujian COVID-19 di DKI Jakarta selalu berada di atas angka 3.000. Bahkan pada pekan keempat, provinsi ini mencatatkan 5.216 pengujian dan angka ini jauh berbanding dengan angka lainnya. Data ini didapat dari unggahan Direktur Pengembangan Strategi Penanggulangan Bencana BNPB Agus Wibowo yang diunggah pada Sabtu, 3 September lalu di akun Twitter miliknya.
"Jadi kalau mau membandingkan saat ini antar daerah, untuk apple to apple secara fair dilihat dulu pertama, memenuhi syarat enggak untuk diperbandingkan. Syarat perbandingan itu, apakah daerah itu sudah memenuhi standar pemeriksaan testing seusai dengan atau setara DKI belum minimal 1.000 orang per minggu," tegas Dicky.
"Ada enggak daerah yang bisa sama dengan perbandingan itu. Kalau tidak sama, minimal mendekati supaya bisa dibandingkan," ujarnya.
Baca juga:
Sebelumnya, selain Mahfud ada pejabat lain yang menyebutkan pilkada ini tak akan mempengaruhi kasus COVID-19 di Indonesia yaitu Ketua Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) Airlangga Hartarto. Senada dengan Mahfud, dia justru menyebut mengatakan kasus tertinggi COVID-19 tertinggi berada di DKI Jakarta yang tidak melaksanakan Pilkada 2020.
"DKI itu tidak melakukan pilkada, namun angkanya merangkak, meningkat. Sehingga tentu pilkada ini yang tidak berkaitan langsung dengan kenaikan positif. Tetapi, yang berkaitan langsung adalah kedisiplinan masyarakat," kata Airlangga.
Tak hanya itu, Airlangga mengatakan, pemerintah juga terus mendorong agar pilkada memberikan dampak positif terhadap ekonomi dengan besarnya dana yang berputar di masyarakat.
"Baik dari calon-calon yang mengikuti pilkada maupun dana penyelenggaraan pilkada oleh KPU Bawaslu yang jumlahnya Rp25 triliun-26 triliun. Untuk biaya penyelenggaraannya sendiri sebesar Rp19 triliun untuk menggunakan banyak sekali tenaga kerja yang nanti dilibatkan untuk penyelenggaraan," ucapnya.
Padahal, dalam pelaksanaannya yang baru mencapai tahapan kampanye, selain menyebabkan tiga calon kepala daerah meninggal, tak sedikit calon kepala daerah yang juga dinyatakan positif COVID-19. Selain itu, ada juga petugas Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) hingga Ketua KPU Arief Budiman dan Komisioner KPU Pramono Ubaid sempat dinyatakan positif mengidap virus tersebut saat mengurusi tahapan pemilihan umum.