Peti Mati Hampir Habis dan Mayat Menumpuk, Layanan Pemakaman Hong Kong Kewalahan karena COVID-19
JAKARTA - Peti mati kayu tradisional hampir habis di Hong Kong, ketika pihak berwenang berebut untuk menambah ruang kamar mayat dalam pertempuran menghadapi COVID-19, yang membanjiri rumah duka.
"Saya belum pernah melihat begitu banyak mayat ditumpuk bersama-sama," kata direktur pemakaman Lok Chung, yang telah bekerja sepanjang waktu, dengan sekitar 40 pemakaman diselenggarakan pada Bulan Maret, naik dari sekitar 15 dalam satu bulan rata-rata, kepada Reuters seperti dikutip 6 April.
"Saya belum pernah melihat anggota keluarga begitu sedih, sangat kecewa, sangat tidak berdaya," lanjut Chung yang mengenakan setelan abu-abu dengan kaus polo hitam.
Sejak gelombang kelima virus corona menghantam bekas jajahan Inggris tahun ini, telah dilaporkan lebih dari satu juta infeksi dan lebih dari 8.000 kematian.
Situasi mayat yang ditumpuk di ruang gawat darurat di sebelah pasien telah mengejutkan banyak orang, karena tempat-tempat di kamar mayat telah terisi.
Penantian yang lama untuk memproses dokumen kematian telah menghambat pekerjaan, tambah Chung, yang bergegas dari kamar mayat minggu lalu, untuk membuat pengaturan akhir untuk pasien COVID-19 terbarunya.
Bahkan, keluarga seorang wanita yang meninggal pada 1 Maret masih menunggu surat-surat untuk memungkinkan mereka mengklaim tubuhnya, tambahnya.
Yang juga kekurangan adalah replika kertas tradisional dari barang-barang seperti mobil hingga rumah dan barang-barang pribadi lainnya, yang dibakar sebagai persembahan di pemakaman Tiongkok untuk digunakan orang mati di akhirat.
Sebagian besar keterlambatan disebabkan oleh kemacetan transportasi dari kota tetangga di China selatan, Shenzhen, yang memasok banyak barang, tetapi sekarang juga tengah memerangi wabah COVID-19.
Infeksi di antara staf di rumah duka juga menimbulkan tantangan yang signifikan, kata direktur pemakaman lainnya, Hades Chan, 31.
"Hampir seperempat orang tidak bisa bekerja. Jadi, beberapa panti harus mengumpulkan staf di antara mereka sendiri untuk tetap bekerja," ujarnya.
Terpisah, seorang ibu rumah tangga Kate (36), mengatakan kematian ayah mertuanya pada Bulan Maret akibat COVID-19, membawa rasa emosional yang besar pada keluarga, menambahkan penyesalan terbesarnya adalah tidak dapat mengunjunginya di rumah sakit.
"Ketika mereka mengira dia tidak akan berhasil, kami bergegas ke sana, tetapi sudah terlambat," tukas wanita yang hanya menyebutkan satu nama itu, kepada Reuters sambil menahan air mata saat upacara pemakaman.
"Baru sekarang kita bisa melihatnya untuk terakhir kalinya," lanjutnya.
Diketahui, China memasok lebih dari 95 persen dari 250 hingga 300 peti mati yang dibutuhkan Hong Kong setiap hari, menurut pejabat kebersihan dan makanan kota Irene Young.
Hong Kong menerima lebih dari 3.570 peti mati selama periode 14-26 Maret, setelah pemerintah kota yang dikuasai China berkoordinasi dengan otoritas daratan.
Enam krematorium sekarang dijalankan hampir sepanjang waktu oleh departemen Young melakukan hampir 300 kremasi sehari, atau dua kali lipat dari biasanya. Sementara, kamar mayat umum telah diperluas untuk menampung 4.600 mayat dari 1.350 sebelumnya, kata pihak berwenang.
Baca juga:
- Kepala Pentagon Telepon Menhan Ukraina, AS Prioritaskan Pengiriman UAV, Javelin hingga Stinger Bantu Kyiv Hadapi Rusia
- Puluhan Diplomatnya Diusir, Rusia Ingatkan Negara-negara Barat: Merusak Hubungan Bilateral
- Sindir Pemimpin Barat yang Tuduh Presiden Putin Penjahat Perang, Menlu Lavrov: Tanya Hati Nurani Sendiri
- Ratusan Warga Sipil Disebut Tewas di Bucha Ukraina, Sekjen PBB Serukan Penyelidikan Independen
Terkait kondisi ini, organisasi non-pemerintah Forget Thee Not telah bermitra dengan pembuat peti mati ramah lingkungan, LifeArt Asia, untuk menyumbangkan 300 peti mati tersebut dan 1.000 kotak pengawet ke enam rumah sakit umum.
Setiap peti mati, terbuat dari karton dengan serat kayu daur ulang, dapat menahan berat hingga 200 kg (440 lb).
Ketika dimasukkan ke dalam peti mati atau kantong mayat, bahan pengawet seperti bubuk itu berubah menjadi gas, untuk menjaga tubuh dalam keadaan alami hingga lima hari.
"Kami berada di tengah badai," ujar kepala eksekutif LifeArt Asia, Wilson Tong.
"Dan di tengah badai ini, kami mencoba memberikan waktu istirahat," pungkasnya.