Metaverse, dan NFT Butuh Internet Cepat, Ini Penyebab Jaringan 5G Belum Merata di Indonesia!

JAKARTA - Jaringan generasi kelima alias 5G tak hanya sekadar dibutuhkan untuk telekomunikasi saja, tetapi menurut President Director Smartfren Merza Fachys, 5G juga dapat mendorong kebutuhan metaverse dan NFT.

"(Saat ini fokusnya harus) bagaimana menyediakan jaringan internet yang benar-benar cocok untuk bisnis ke depan yang bukan main. Metaverse ini adalah salah satu contoh yang jelas, kalau crypto saya tidak terlalu paham tetapi pasti butuh internet cepat, NFT juga demikian, belum lagi mobil otonom, kebayang kalau ada di Jakarta, internet speed-nya lelet ya tabrakan semua itu," ujar Merza dalam sesi Selular Congress 2022 yang digelar Selular Media Network.

Oleh karena itu, dikatakan Merza saat ini Indonesia membutuhkan "the real 5G". Meski dia tidak menyinggung operator lain, tetapi menegaskan bahwa inovasi teknologi tersebut benar-benar membutuhkan 5G.

"Bukan karena Smartfren belum menggelar 5G, tapi 5G yang hari ini ada itu masih belum real 5G. Baru 5G diaksesnya, microwave yang speed-nya terbatas dengan satelit yang belum high throughput satellite. Bagaimana mau main metaverse, main gim online saja tertembak terus," tutur Merza.

Merza menyatakan, operator seluler saat ini masih harus membutuhkan spektrum frekuensi yang cukup. Sebab, spektrum frekuensi yang ada sekarang masih tertahan karena digunakan untuk kepentingan lain, salah satunya TV analog.

"Spektrum yang ada perlu ditata ulang. Misalnya dengan mematikan TV analog sehingga spektrum frekuensi bisa dipakai untuk 5G," ungkap Merza.

Di sisi lain Merza memahami penataan ulang spektrum frekuensi memang membutuhkan waktu. Tetapi hal ini perlu segera dilakukan agar memenuhi kebutuhan akses internet 5G yang lebih cepat, berkapasitas besar, dan latensi yang rendah.

Selain itu, jaringan 5G juga memerlukan dukungan fiber optic guna membawa kapasitas yang lebih besar. Sayangnya, fiber optic ini membutuhkan investasi yang tak main-main.

"Menggelar fiber optic itu izin dan prosesnya lama, dan juga bukan hal murah," pungkas Merza.

Ditekankan Merza, sulitnya menggelar fiber optic terutama di tingkat daerah. Misalnya saja ada pemerintah daerah (pemda) ketika operator seluler ingin menanam kabel di pinggir jalan, mereka harus menyewa tanah tersebut.

"Kita harus sewa bayar ke pemda, sewanya sama dengan harga tanah perumahan di situ, karena pakai NJOP wilayah yang dilewati. Ini semua tidak masuk akal, bagaimana kita mau mempercepat digitalisasi. Diharapkan pemerintah tidak menarik pendapatan di depan, ketika operator berupaya membangun jaringan," jelas Merza.