Inggris Janji Sanksi Rusia Dicabut jika Pasukannya Ditarik dari Ukraina
JAKARTA - Menteri Luar Negeri Inggris Liz Truss mengatakan sanksi yang dikenakan pada individu dan perusahaan Rusia dapat dicabut asal Rusia menarik diri dari Ukraina dan berkomitmen untuk mengakhiri agresi, surat kabar Telegraph melaporkan pada Sabtu 26 Maret.
Inggris dan negara-negara Barat lain menggunakan sanksi ekonomi untuk melumpuhkan ekonomi Rusia dan menghukum Presiden Vladimir Putin karena menyerang Ukraina.
Mereka berusaha menekan Putin untuk menghentikan apa yang disebutnya operasi militer khusus untuk melucuti senjata dan membersihkan pengaruh Nazi di Ukraina.
Dalam sebuah wawancara dengan Telegraph, Truss mengemukakan kemungkinan bahwa sanksi dihentikan berakhir jika Moskow mengubah arah kebijakan.
“Apa yang kami ketahui adalah bahwa Rusia menandatangani beberapa perjanjian yang tidak mereka patuhi. Jadi perlu ada dorongan keras. Tentu saja, sanksi adalah daya tekan yang keras,” katanya.
"Sanksi itu seharusnya dicabut tak hanya dengan gencatan senjata dan penarikan penuh, tapi juga komitmen bahwa tidak akan ada agresi lebih lanjut. Dan juga, ada peluang untuk memberlakukan kembali sanksi secara otomatis jika ada agresi lebih lanjut di masa depan. Itu adalah daya tekan sesungguhnya yang menurut saya bisa digunakan," ucapnya.
Baca juga:
- Presiden Biden Sebut Presiden Putin Tukang Jagal, Kremlin: Seorang Pemimpin Negara Harus Mengendalikan Emosinya
- Jalani Peningkatan Teknologi, Galangan Kapal Rusia Bakal Mampu Membangun Kapal Selam Nuklir Generasi Kelima
- Sebulan Perang, Rusia Klaim Berhasil Lumpuhkan 1.627 Tank dan 167 Peluncur Roket Ukraina
- Sebut Vladimir Putin Tidak Bisa Tetap Berkuasa, Kremlin: Bukan Biden yang Memutuskan, Presiden Rusia Dipilih Rusia
Pemerintah Inggris mengatakan pihaknya sejauh ini telah memberlakukan sanksi pada bank dengan total aset 500 miliar pound (Rp9,47 kuadriliun) dan oligarki serta anggota keluarga dengan kekayaan bersih lebih dari 150 miliar pound (Rp2,83 kuadriliun).
Truss juga mengisyaratkan bahwa krisis itu telah membawa Inggris dan Uni Eropa lebih dekat setelah hubungan keduanya menjadi sangat tegang akibat Brexit.
"Salah satu poin yang akan saya sampaikan tentang krisis ini adalah kami telah bekerja sangat, sangat erat dengan Uni Eropa," katanya.
"Tentu saja, ada beberapa bidang di mana kami berbeda dengan EU tapi pada dasarnya, kami semua adalah negara demokratis, kami semua percaya pada kebebasan dan hak rakyat untuk memilih pemerintahan mereka sendiri dan kami sangat bersatu dalam perjuangan ini." pungkasnya.