Gedung Sarinah, Bentuk Penghormatan Presiden Soekarno untuk Pengasuhnya

JAKARTA - Soekarno tak pernah sungkan untuk berguru kepada siapa saja. Termasuk kepada pengasuhnya. Sarinah, namanya. Sosok perempuan itu laksana sokoguru perjuangan. Bung Karno belajar banyak hal kepadanya. Dari gotong royong hingga membela jelata. Semangatnya terbawa hingga Soekarno jadi Presiden Indonesia. Sarinah pun diabadikannya sebagai sebuah nama dari pusat perbelanjaan modern pertama di Asia Tenggara. Toserba itu langgeng dikenal sebagai Gedung Sarinah.

Bagi Bung Karno, setiap tarikan nafas kehidupan adalah pembelajaran. Belajar hal baru tak harus pandang bulu. Apalagi melihat status. Sebab, sebuah ilmu bisa didapat dari mana saja. Bung Karno pun mengalaminya saat ia masih muda. Pembelajaran tak melulu didapatkannya di sekolah Eropa. Ilmu itu bisa didapatkannya dari rumah. Bahkan, dari seorang pengasuhnya yang bernama Sarinah.

Sosok Sarinah berperan penting dalam tumbuh kembang Bung Karno. Sarinah mendedikasikan waktu untuk merawat keluarganya, khususnya Bung Karno. Cinta kasih tanpa pamrih itu buat Bung Karno mengenal sebuah asas khas bangsa Indonesia: gotong royong.

Presiden Soekarno saat melakukan inspeksi mendadak pembangunan Gedung Sarinah pada tahun 1962. (Foto: Kepustakaan Presiden Perpusnas)

Bakti itu membuat Sarinah tidur, tinggal, dan makan bersama keluarga Bung Karno. Sarinah bak anggota keluarga. Ia pun tak menerima gaji sepeser pun. Kebersamaan itu membuat Sarinah saat senggang mengajarkan Bung Karno banyak hal. Cinta kasih, terutama. Dalam koridor itu, Bung Karno diajari menjadi seorang pecinta.

Bung Karno diminta mencintai banyak hal. Terutama mencintai rakyat jelata. Pemahamannya pun meningkat. Ketidakadilan yang terima oleh rakyat jelata mengasah kepekaannya. Buahnya, Soekarno tumbuh dan bergerak untuk memperjuangkan nasib bangsanya. Penjara dan pengasingan tak membuatnya jera, sampai Indonesia meraih kemerdekaannya.

“Dialah yang mengajarku untuk mengenal cinta kasih. Aku tidak menyinggung pengertian jasmaniahnya bila aku menyebut itu. Sarinah mengajarku untuk mencintai rakyat. Massa rakyat, rakyat jelata. Selagi ia memasak di gubuk kecil dekat rumah, aku duduk disampingnya dan kemudian ia berpidato: Karno, yang terutama engkau harus mencintai ibumu. Akan tetapi kemudian engkau harus mencintai pula rakyat jelata. Engkau harus mencintai manusia umumnya.”

Parade busana dalam sebuah ajang pameran produk dalam negeri di Gedung Sarinah pada 1970-an. (Foto: Wikimedia Commons)

“Sarinah adalah nama yang biasa. Akan tetapi Sarinah yang ini bukanlah wanita yang biasa. Ia adalah satu kekuasaan yang paling besar dalam hidupku. Di masa mudaku aku tidur dengan dia. Maksudku bukan sebagai suami istri. Kami berdua tidur di tempat tidur yang kecil. Ketika aku sudah mulai besar, Sarinah sudah tidak ada lagi,” terang Bung Karno sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).

Diabadikan Sebagai Nama Gedung

Pelajaran berharga dari Sarinah terus dijadikan pedoman hidup oleh Bung Karno. Tindak-tanduknya membela rakyat jelata mulai terlihat sedari dia kuliah di Bandung. Ia aktif membela kaumnya dari mimbar ke mimbar. Suaranya lantang melawan Belanda. Ia ingin Indonesia segera lepas dari belenggu penjajahan. Kegiatan politiknya itu pun memiliki konsekuensi. Penjara dan diasingkan jadi senjata Belanda melemahkan langkah Bung Besar.

Namun, Bung Karno enggan takluk. Ia tetap membela dan berdiri bersama rakyat jelata. Perjuangan itu akhirnya terbalas. Peran segenap pejuang kemerdekaan membuat Soekarno dan Mohammad Hatta didaulat sebagai pemimpin bangsa.

Mereka diminta untuk memproklamasi kemerdekaan. Meski begitu, kepekaannya terhadap rakyat kecil tak pernah padam. Ia terus memompa semangat rakyat. Harga diri bangsa pun dijaganya. Salah satu solusinya adalah proyek mercusuar. Proyek itu akan membuat citra Indonesia sebagai bangsa besar semakin menyala.

Menteri BUMN, Erick Thohir, meninjau relief peninggalan Presiden Soekarno yang semasa Orde Baru disembunyikan di ruang bawah tanah Gedung Sarinah. (Foto: Dok. Kementerian BUMN) 

Bung Karno pun mewujudkan mimpi Indonesia memiliki pusat perbelanjaan modern pertama di Asia Tenggara. Sarinah, namanya. Pembangunannya dilakukan pada 1962. Sarinah dibangunnya untuk membangun ekonomi sosialis. Bukan kapitalis. Karenanya, peran Sarinah dianggapnya sebagai stabilator harga. Pun produk atau barang-barang yang dijual di sana harus dominan berasal dari dalam negeri. Minimal 60 persen banyaknya.  

“Lo saya dulu meletakkan batu pertama Department Store Sarinah. Saya sudah bilang, Department Store Sarinah itu adalah satu yang mutlak perlu untuk sosialistische economie. Tidak ada satu negara sosialis tidak mempunyai satu distriebutie legal, tidak mempunyai department store. Datanglah di Hanoi, ada. Datanglah di Peking, ada. Datanglah di Nanking, ada. Datanglah di Shanghai, ada. Datanglah di Moskow, ada. Datanglah di Budapest, ada. Datanglah di Praha, ada.”

“Oleh karena fungsi daripada department store ialah nomor satu, menurunkan harga, menekan harga, prijs stabilisator. Yaitu orang di luar department store ini tidak berani menjual barang lebih tinggi daripada department store. Sebab, kalau di department store harganya cuma 50 rupiah, di luar department store orang tidak berani menjual barang ini seratus rupiah,” cerita Soekarno dalam amanatnya pada Sidang Paripurna Kabinet Dwikora di Bogor 15 Januari 1966 dikutip buku Revolusi Belum Selesai (2014).