Kisah Kompeni Serang Mataram dengan Tinja di Balik Julukan “Batavia Kota Tahi”
JAKARTA - Ambisi Raja Mataram, Sultan Agung (1613-1645) untuk mengalahkan kongsi dagang Belanda, VOC tak perlu diragukan lagi. Sebagai tuan rumah, kala itu sang raja ingin menunjukkan siapa sesungguhnya penguasa pulau Jawa. Alhasil, Mataram kemudian menyerang Batavia sebanyak dua kali, 1628 dan 1629. Sayangnya, kedua serangan itu berujung kekalahan.
Paling pahit kekalahan prajurit Mataram yang berada di bawah komando Tumenggung Bahureksa dan Ki Mandurareja terjadi pada serangan pertama. Walau dalam posisi bertahan, Belanda tak sengaja menggunakan amunisi rahasia, yakni kotoran manusia atau tinja. Lantas, Prajurit Mataram mengenang peristiwa itu dengan menjuluki “Batavia sebagai Kota Tahi.”
Dalam serangan pertama pada 1628, prajurit Mataram yang berjumlah puluhan ribu langsung mencoba mendekati benteng Belanda, Fort Hollandia. Pergerakan prajurit pun tampak senada dengan misi yang diberikan oleh Sultan Agung. Yang mana sang raja dikenal tak menghendaki adanya daerah yang tak takluk oleh Mataram.
Baca juga:
Atas serangan tersebut, Gubernur Jenderal VOC yang pernah menjabat dua kali (1619-1623 dan 1627-1629) Jan Pieterszoon Coen mengaku tak pernah menganggap remeh prajurit Mataram. Bagi Coen, prajurit Mataram merupakan musuh yang gigih. Bahkan, penuturan tersebut sempat Coen ungkap dalam laporannya kepada Dewan Hindia 3 November 1628.
"Mereka membawa tangga-tangga dan alat-alat pelantak untuk memanjat kubu atau menghancurkan tembok-tembok. Mereka dilindungi oleh beberapa orang, yang terus menembaki kubu dengan memakai bedil laras panjang. Akan tetapi, sebanyak 24 orang kami yang berada di kubu itu memberikan perlawanan yang gigih, sehingga sepanjang malam itu semua musuh berhasil dipukul mundur sampai semua mesiu habis,” tulis Coen.
Dikutip dari Adolf Heuken SJ dalam buku Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta (2007), serangan pertama Mataram tampak kurang berhasil. Hal itu terjadi lantaran Mataram tak menghitung secara rinci terkait persediaan makanan untuk pasukan. Parahnya lagi, persenjataan Mataram terhitung kurang modern yang berakibat pada kagagalan merebut benteng dan kota Batavia yang sebagian besar dibekali oleh banyaknya meriam.
Pada serangan kedua pun begitu. Mataram yang enggan belajar dari serangan pertama mendapat masalah yang sama, yakni kekurangan logistik. Namun, bukan seperti pada serangan pertama, kekurangan logistik pada serang kedua tak lain akibat dari tertangkapnya mata-mata Mataram yang berujung pada bocornya rencana penyerangan. Setali dengan itu, Belanda bergerak lebih duku menghancurkan kapal-kapal yang membawa logistik dan perbekalan perang milik Mataram.
“Karena takut akan hukuman, jika pulang tanpa kemenangan, prajurit Sunda (Dipati Ukur) dan banyak orang Jawa Tengah Desersi dan menetap di sekitar Batavia yang kosong penduduknya. Kurang lebih 50 persen dari pasukan Sultan Agung mati karena kelaparan, penyakit, kecapaian, hukuman, dan tembakan peluru Belanda.”
Batavia Kota Tahi
Seperti diceritakan oleh seorang Jerman, Johan Neuhof dalam buku berbahasa Jerman yang telah diterjemahkan dengan bahasa Belanda, Die Gesantschaft der Ost-Indischen Geselschaft in den Vereinigten Niederlaendern an Tartarischen Cham (1669). Neuhof bercerita kubu VOC dalam serangan pertama Mataram sempat kocar-kacir menghadapi prajurit Mataram.
Ketika prajurit Mataram menyerang pertama kali ke kubu pertahanan Benteng Hollandia yang berada di ujung selatan tanggul kota. Prajurit Mataram tampak berada di atas angin. Lantaran sengitnya perlawanan, para garnisun VOC kemudian kewalahan hingga mereka kehabisan amunisi.
“Perang pun segera terjadi di antara mereka dan pada waktu itu orang Belanda karena dapat dipukul oleh keganasan orang-orang pribumi, maka mereka terpaksa mengunakan batu-batuan yang mereka dapatkan sebagai ganti bola-bola besi (untuk meriam). Namun usaha tersebut tetap menemui kegagalan,” ujar Thomas Stamford Raffles dalam mahakaryanya The History of Java (1817).
Dalam situasi genting tersebut, Sersan Hans Madelijn kelahiran Pfalz (Jerman) mendapatkan siasat yang licik. Madelijn yang kala itu masih berusia 23 tahun langsung menyelinap ke ruang serdadu dan meminta anak buahnya membawa sekeranjang penuh tinja ke arena pertempuan.
Dengan segala rasa putus asa, Madelijn lalu memerintahkan anak buahnya untuk melempar tinja tersebut ke tubuh-tubuh prajurit Mataram yang sedang meradang dan merayapi dinding Hollandia. Ketika dihantam dengan peluru jenis bau ini, prajurit Mataram lari sambil berteriak dengan marah:
“O, seytang orang Hollanda de bakkalay samma tay!”—O, setan orang Belanda berkelahi sama tahi—demikian ucap prajurit Mataram dalam bahasa Melayu. Menariknya, bahasa tersebut menjadi bahasa Melayu pertama yang tercatat dalam buku berbahasa Jerman tentang Jakarta.
berkat serangan tinja, Prajurit Mataram mundur ke kemah mereka di pedalaman Batavia. Pun, hal itu semakin menambah catatan kekalahan serangan pertama Mataram ke Batavia. Lantaran pasukan Kompeni memiliki cara bertahan yang tak biasa. Pada akhirnya, prajurit Mataram lalu menjuluki Benteng Hollandia sebagai “Kota Tahi” yang lama-kelamaan merembet menjadi Batavia Kota Tahi.
Lewat kemenangan itu, pasukan Kompeni menjadikan cerita perjuangan mereka yang mengalahkan prajut Mataram dengan tinja sebagai cerita turun-temurun yang selalu dibanggakan di banyak tempat. Iksaka Banu dalam cerpennya berjudul ‘Mawar di Kanal Macan dalam buku Semua Untuk Hindia (2014), menceritakan bahwa siasat Belanda yang nyeleneh selalu dibahas secara hangat oleh serdadu Belanda di segala situasi.
Dalam salah satu dialog di sebuah kedai di Batavia, tampak seorang serdadu Belanda meminta rekannya menceritakan kembali peristiwa Batavia Kota Tahi. “Ayo, Letnan. Ceritakan kepada kami semua, bagaimana engkau dan orang-orang Monsieur Jaques Lefebre menahan serbuan Mataram?”
Rekannya menjawab :”Sudah lama berlalu. Banyak tempat, tokoh, dan jabatan yang berubah. Aku akan kerap bertanya di sela ceritaku untuk menyamakan sudut pandnag. Pasti sangat membosankan untuk didengar. Lagi pula sebutan tadi salah alamat. Menurutku, semua penduduk Batavia kala itu adalah pahlawan. Teristimewa, Sersan Madelijn.”
Meski begitu, siasat nyeleneh itu nyatanya membuat kubu Belanda juga menjadi korban. Sesaat setelah serangan banyak orang Belanda di dalam kota tersebut seperti wanita, anak-anak, dan puluhan orang yang terserang roode loop, atau penyakit disentri. “Tahi yang menolong, tahi pula yang membunuh kita,” gumam salah seorang serdadu VOC.