JAKARTA - Jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin pasca Perjanjian Renville membuat golongan-golongan sosialis tergusur di pemerintahan. Perannya di pemerintahan diambil alih Hatta. Perselisihan di tingkat elit rembes sampai ke akar rumput sehingga melahirkan peristiwa yang akan terus diingat dalam sejarah: pemberontakan PKI di Madiun.
Belanda masih belum mengakui kemerdekaan Indonesia seratus persen pada waktu itu. Mereka terus melobi-lobi Indonesia agar tak sepenuhnya lepas dari pangkuannya. Salah satu upayanya terlihat di Perjanjian Renville.
Perjanjian tersebut membuat Indonesia sulit. Perundingan itu membuat wilayah Indonesia menjadi semakin sempit dan blokade ekonomi dari Belanda membuat Indonesia kian pelik.
Akibatnya banyak golongan-golongan masyarakat memprotes hasil perundingan tersebut hingga memunculkan kelompok-kelompok anti pemerintah. Hal itu mengguncang stabilitas kabinet Amir sampai kandas.
Setelah kabinet Amir bubar, Presiden Sukarno menunjuk M. Hatta sebagai perdana menteri. Kabinet Hatta pun lahir.
Peran golongan sosialis di kabinet melemah di bawah kabinet Hatta. Amir rupanya tak puas atas dengan itu. Sehingga ia membentuk poros oposisi dengan mendirikan Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada 28 Juni 1948.
FDR merupakan kelompok oposisi yang terdiri dari golongan kiri termasuk komunis. Mereka terdiri dari Partai Sosialis Indonesia, Pemuda Sosialis Indonesia, Partai Buruh Indonesia, Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia, dan tentu saja Partai Komunis Indonesia (PKI).
Poros oposisi merasa bahwa aturan baru di bawah Kabinet Hatta merugikan pihaknya. Aturan yang dikenal dengan reorganisasi dan rasionalisasi dianggap merugikan karena mengurangi kekuatan militernya dalam TNI-Masyarakat dan Divisi Panembahan Senopati.
Revolusi Musso
Ketika pertikaian sedang panas, Musso dari Moskow datang ke Indonesia. Musso menawarkan konsep politik 'Jalan Baru'. Dalam politik 'Jalan Baru' milik Musso, partai kelas buruh menjadi satu. Hasilnya, Partai Buruh Indonesia dan Partai Sosialis berada di bawah satu payung PKI. Fusi ini direncanakan untuk memimpin revolusi untuk mendirikan pemerintahan front nasional.
Musso semakin membuka Jalan Baru dengan membuat pertemuan besar di Yogyakarta. Menurut Hendri F. Isnaeni dalam tulisannya di Historia, di pertemuan besar tersebut Musso menyampaikan pentingnya kabinet presidensial diganti menjadi kabinet front persatuan.
Ia juga menyerukan kerjasama internasional, terutama dengan Uni Soviet untuk mematahkan blokade Belanda. Bersama sejumlah pemimpin PKI, Musso bersafari ke daerah-daerah di Jawa, yaitu Solo, Madiun, Kediri, Jombang, Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, dan Wonosobo. Di tengah safari ini, peristiwa Madiun pun terjadi.
Tidak tinggal diam, Pemerintah Ri mengirim ultimatum dengan mengirim Kolonel Gatot Subroto ke Surakarta. Gatot Subroto mengultimatum pihak-pihak yang terlibat untuk berhenti selambatnya 20 September. Mereka yang membangkang akan dianggap sebagai pemberontak.
Pemberontakan
Alih-alih mengindahkan ultimatum tersebut, FDR justru semakin bergerilya. Pada hari ini, 18 September 72 tahun lalu atau pada 1948, salah seorang pemimpin Pesindo bernama Soemarsono, mengumumkan pengambilalihan kekuasaan oleh FDR di Madiun. Saat itu lah pemberontakan Madiun terjadi.
“Peristiwa ini membuka jalan bagi apa yang nantinya dikenal luas sebagai peristiwa pemberontakan PKI di Madiun. Pagi hari 19 September 1948, pasukan FDR bergerak untuk melucuti kesatuan-kesatuan CPM (Corps Polisi Militer) dan Siliwangi di Madiun,” tulis Norman Joshua Soelias dalam Pesindo: Pemuda Sosialis Indonesia 1945-1950, yang dikutip Tirto.
Pelucutan CPM juga diikuti dengan kepanikan warga. Penjarahan, penangkapan, dan aksi tembak-menembak tidak bisa terhindarkan. Madiun berhasil dikuasai oleh FDR dan dijadikan sebagai Pemerintahan Front Nasional. Hari berikutnya, FDR juga mengumumkan pembentukan pemerintahan baru selain di Madiun. PKI mengumumkan hal serupa di Pati, Jawa Tengah. Pemberontakan tersebut menewaskan Gubernur Jawa Timur RM Suryo, dokter pro-kemerdekaan Moewardi, dan beberapa petugas polisi dan tokoh agama.
Pemerintah RI lalu mengerahkan pasukan TNI untuk menertibkan keadaan. Pasukan Siliwangi berhasil melucuti FDR di Yogyakarta dan menumpas kekuatan FDR di Madiun. Sehari sebelum Pasukan Siliwangi berhasil kuasai Madiun, para pemimpin PKI melarikan diri dari Madiun. Sementara Musso tewas dalam pengejaran dan baku tembak.
Amir Sjarifudin tetap memimpin dalam proses pelarian diri. Tidak hanya para pemimpin PKI, pelarian tersebut diikuti oleh 3.000 orang yang merupakan keluarga dari para pemberontak. Namun pelarian tersebut tidak lama. Keberadaan Amir berhasil terlacak dan Amir berhasil diringkus.
Saat ditangkap, keadaan Amir sudah payah. Bersama pemimpin PKI lainnya yang berhasil ditangkap, Amir dibawa ke Kudus kemudian Yogyakarta. Amir lalu dipenjara di Benteng Yogyakarta, lalu Surakarta.
Pada Desember 1948, Amir menjalani eksekusi mati. Sebelum menemui ajalnya, Amir meminta izin untuk menulis surat. Eksekusi Amir bersamaan dengan eksekusi terhadap Maruto Darusman, Suripno, Sarjono, Oey Gee Hwat, Harjono, Sukarno, Djokosoejono, Katamhadi, Ronomarsono, dan D. Mangku.
Eksekusi mati Amir sesungguhnya adalah sebuah ironi. Walau bagaimana pun, Amir telah mengabdikan hidupnya untuk Indonesia. Eksekusi terhadap Amir dinilai terlalu terburu-buru karena diputuskan berdasarkan info yang sulit dimengerti. Amir menjemput ajal tanpa bekingan dan tanpa hormat.