Waduh! IMF Khawatir Dampak "Dahsyat" Kerusakan Ekonomi Jika Konflik Rusia – Ukraina Berlarut-Larut
JAKARTA – Organisasi keuangan global Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) tidak bisa memungkiri jika operasi militer khusus Rusia di Ukraina berdampak pada sektor perekonomian.
Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengatakan imbas lebih luas dan signifikan dipercaya akan terjadi ke seluruh dunia jika situasi di Eropa Timur itu berlangsung secara berlarut.
“Jika konflik meningkat, kerusakan ekonomi akan lebih dahsyat,” ujarnya dalam laporan resmi pada Minggu, 6 Maret waktu Indonesia Barat.
Menurut Kristalina, aktivitas militer yang tidak kunjung henti menyebabkan kondisi tetap sangat fluktuatif dan prospek ketidakpastian menjadi luar biasa dengan konsekuensi ekonomi sangat serius. Dia menjelaskan, harga energi dan komoditas, termasuk gandum dan biji-bijian lainnya, terus melonjak serta menambah tekanan inflasi dari gangguan rantai pasokan dan rebound setelah pandemi COVID‑19.
“Guncangan harga akan berdampak di seluruh dunia, terutama pada rumah tangga miskin di mana makanan dan bahan bakar merupakan proporsi pengeluaran yang lebih tinggi,” tuturnya.
Baca juga:
Guna memberikan efek mengurangi aktivitas militer yang merugikan ini, IMF disebutkan telah menyiapkan sejumlah sanksi ekonomi bagi Rusia. Meski demikian, lembaga finansial dunia itu berada di persimpangan keputusan.
Pasalnya, intervensi terhadap sistem ekonomi berarti mempersempit ruang kerja sama Rusia dengan negara mitra lain yang belum tentu terkait dengan aksi militer tersebut. Ini berarti semakin memperlambat proses pemulihan ekonomi global pasca dihantam pandemi dua tahun lalu.
“Sanksi terhadap Rusia juga akan berdampak besar pada ekonomi global dan pasar keuangan, dengan limpahan yang signifikan ke negara lain,” tegas Kristalina melanjutkan.
Salah satu contoh nyata adalah potensi gangguan suplai gandum Indonesia yang dipasok dari Ukraina. Meski tergolong mengimpor dalam jumlah yang tidak besar, situasi pelik di negara itu memaksa RI harus mencari negara produsen lain guna memenuhi kebutuhan dalam negeri.