Imbas Perang Rusia - Ukraina Terhadap Harga Migas Bisa Bebani APBN, Pengamat: Pertumbuhan Ekonomi Kita Bisa Ikut Terdampak

JAKARTA - Untung dan rugi secara ekonomi maupun perdagangan dalam konflik Russia - Ukraina  bukan hanya bergantung pada sisi mana keberpihakan secara politik (apakah pro Russia atau pro Ukraina). Tapi bergantung pada inter-dependensi perdagangan, apakah dengan jejaring dagang aliansi besar Russia atau aliansi Ukraina-US-EU dan juga secara khusus pada komoditas ekspor dan impor.

Seperti disampaikan Dosen Paramadina Graduate School of Diplomacy Dr. M. Syaltout pada Forum Ekonomi Politik Didik J. Rachbini bertajuk “Dampak Perang Rusia-Ukraina: Ekonomi dan Politik Global” yang digelar melalui platform Twitter Space, dikutip Sabtu 26 Februari.

Menurut Syaltout, pada saat perang berlanjut, ternyata tidak semua pihak menjadi buntung, rugi, defisit dan mengalami krisis perdagangan maupun ekonomi. “Ada beberapa negara yang justru diuntungkan dengan munculnya bukan hanya ketegangan konflik antar negara, tapi juga perang yang terbuka," katanya

Menyinggung posisi Indonesia, Syaltout menyatakan sebagai negara net importir minyak bumi, harga minyak dan gas bumi yang semakin tinggi pasca meningkatnya eskalasi konflik Russia vs Ukraina, dalam jangka panjang dapat merugikan Indonesia.

“Jika tidak disiasati betul, dengan adanya economic shock terhadap APBN karena Pandemi COVID-19, maka harga minyak dan gas yang tinggi akan semakin membebani APBN kita. Pertumbuhan ekonomi kita yang lumayan membaik tahun 2021, bisa jadi terdampak,” ungkap Syaltout.

Di lain sisi, Indonesia saat ini dikenal sebagai negara penghasil emas, perak, alumunium dan nikel yang saat ini juga ikutan naik pasca meningkatnya eskalasi konflik Russia vs Ukraina.

“Jika kita bisa mengoptimalkan peluang ini, ekonomi kita bukan hanya selamat dari ancaman defisit karena dampak naiknya harga migas, tapi juga bisa untung besar," ujar dia.

Namun, untuk mendapatkan untung besar, perlu strategi yang jitu terkait pertambangan, baik di hulu maupun hilirnya, termasuk tentu saja terkait pembangunan smelter dan lain-lainnya.

"Di sini lah, Politik Bebas Aktif Indonesia menemukan relevansi dan signifikansinya," kata Syaltout menambahkan.