Bagikan:

JAKARTA - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) Bahlil Lahadalia mengakui banyak subsidi yang diberikan pemerintah tidak tepat sasaran.

Salah satunya adalah subsidi bahan bakar minyak (BBM). Hal ini karena subsidi diberikan bukan kepada orang, namun kepada barang.

Alhasil, kata Bahlil, banyak masyarakat mampu yang ikut menikmati subsidi.

Menurut Bahlil, hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran dari orang-orang mampu untuk membeli BBM non-subsidi.

"Contoh minyak, masa orang punya mobil bagus, pakai minyak subsidi. Jadi kita orang-orang mampu ini juga, tidak adil kepada orang yang membutuhkan subsidi," kata Bahlil dalam diskusi Rilis Survei Indikator, Senin, 11 Juli.

Karena itu, Bahlil mengatakan saat ini pemerintah tengah mengubah skema subsidi yang tadinya kepada barang menjadi kepada orang, supaya lebih tepat sasaran. Namun, hal ini justru memunculkan kritik dari masyarakat.

"Begitu pemerintah mengubah tata kelola subsidi ke orang, contohnya dengan pakai App Pertamia (MyPertamina), ada lagi yang tidak senang, olok-olok kita. Terus jadi kapan negara ini mau maju," jelasnya.

Untuk subsidi BBM, kata Bahlil, anggaran yang harus dikeluarkan pemerintah mencapai Rp500 triliun. Hitungan ini dengan asumsi harga minyak global 110 sampai 120 dolar AS per barel.

Namun, kata Bahlil, Gejolak industri Migas Global imbas perang Rusia dan Ukraina membuat proyeksi harga minyak global berpotensi naik bahkan mencapai di atas 200 dolar per barel.

"Ketika Rusia menurunkan produksinya hampir 3 juta, kemudian Timur Tengah hanya bisa menaikkan suplai maksimal sekitar 1,5 juta. Maka akan terjadi defisit 1,5 sampai 2 juta, itu diperkirakan harga minyak kita bisa mencapai 200 dolar per barel, 200 lebih dan itu berbahaya lagi. Kalau itu tidak segera kita melepas ini, maka subsidi kita tinggi," katanya.

Lebih lanjut, Bahlil mengatakan, besarnya anggaran yang dikeluarkan ini akan membebani anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Apalagi, kata Bahlil, pendapatan negara dalam setahun tidak lebih dari Rp2.000 triliun.

"Paling tinggi Rp2.100 triliun, kalau APBN kita Rp2.700 triliun, itu sisanya pembiayaan alias defisit atau utang. Nah bayangkan sekarang hampir seperempat dari total APBN itu subsidi. Kalau tidak (dilepas) ini berbahaya sekali," tuturnya.