Sanksi AS Ke Rusia Tak Efektif, karena Jaringan Swift dan Transfer Uang Kripto Masih Tersedia

JAKARTA – Sanksi ekonomi sudah diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat, Joe Biden sebagai tanggapan atas serangan Rusia terhadap Ukraina, Kamis 24 Februari. Namun sanksi ini tidak termasuk memotong negara itu dari pembayaran pada sistem SWIFT atau transfer mata uang kripto.

Dalam pengumuman Kamis dari Gedung Putih, Biden mengatakan AS dan sekutu serta mitranya akan memberlakukan sanksi yang bertujuan untuk memaksakan "biaya yang menghancurkan" pada Rusia karena "perang pilihan Putin melawan Ukraina."

Presiden AS mengumumkan bahwa negara itu akan memutuskan sistem keuangannya dari bank terbesar Rusia, Sberbank, serta memberlakukan "sanksi pemblokiran penuh" pada VTB Bank, Bank Otkritie, Sovcombank OJSC, Novikombank, dan anak perusahaan mereka.

Biden juga menyebut beberapa warga negara elit yang telah “memperkaya diri mereka sendiri dengan mengorbankan negara Rusia” sebagai bagian dari hukuman yang dikenakan terhadap Rusia.

Namun, berbicara kepada wartawan pada  Kamis lalu, Biden mengumumkan bahwa langkah-langkah ekonomi tidak akan mencakup pemutusan Rusia dari jaringan SWIFT, yakni sistem pembayaran yang digunakan di seluruh dunia. Namun mereka membiarkan opsi ini tersedia untuk Rusia jika memungkinkan. Namun  AS tidak dapat memblokir transfer mata uang kripto yang digambarkan dapat mengurangi dampak sanksi yang dikenakan oleh Amerika Serikat dan sekutunya.

Menurut Bloomberg, Kamis lalu, miliarder Rusia berpotensi menghindari sanksi AS dengan menggunakan uang kripto untuk membeli barang dan jasa dan terus melakukan investasi di luar negara yang mengalami dampak ekonomi yang lebih keras karena invasi.

Contohnya individu atau Yayasan di Iran dapat meminta sumbangan crypto untuk korban banjir pada tahun 2019, padahal negara ini masih di bawah sanksi AS. Begitu pula dengan Presiden Venezuela Nicolás Maduro, yang  mengusulkan undang-undang pada tahun 2020 yang bertujuan untuk menggunakan crypto guna menghindari berbagai sanksi yang dikenakan pada negara tersebut.

“Jika seorang individu kaya khawatir bahwa akun mereka dapat dibekukan karena sanksi, mereka dapat dengan mudah menyimpan kekayaan mereka dalam Bitcoin untuk dilindungi dari tindakan tersebut,” kata pendiri dan CEO Quantum Economics, Mati Greenspan, seperti dikutip Cointelegraph.

Dmytro Kuleba, menteri luar negeri Ukraina, mendesak agar Rusia tidak diizinkan untuk terus menggunakan jaringan SWIFT. Presiden Biden mengatakan bahwa sanksi yang dikenakan pada lima bank Rusia “akan memiliki konsekuensi yang sama, mungkin konsekuensi yang lebih besar daripada SWIFT” tetapi pemutusan negara dari jaringan akan dianggap “sebagai opsi” jika perlu.

Baik Biden maupun Kuleba secara langsung membahas kemungkinan dampak kripto dalam menghindari sanksi.

Tindakan Biden terjadi menyusul laporan bahwa Rusia telah meluncurkan invasi ke Ukraina, mengebom bandara militer di dekat ibu kota Kyiv dan menyerang target di seluruh negeri dengan rudal. Sementara tambahan pasukan AS sudah dikirimkan ke Jerman dan Polandia sebagai tanggapan atas serangan itu. Namun   Biden tampaknya mengejar Rusia baik secara ekonomi maupun dengan unjuk kekuatan militer.

Namun, laporan New York Times menyarankan sanksi mungkin tidak berdampak seperti yang diinginkan oleh Presiden AS itu.

“Rusia memiliki banyak waktu untuk memikirkan konsekuensi khusus ini,” kata mantan jaksa federal Michael Parker. “Akan naif untuk berpikir bahwa mereka tidak memainkan skenario ini dengan tepat.”

Situasi di Ukraina masih berkembang, tetapi dampak finansial dari serangan tersebut telah mencapai pasar kripto dan pasar tradisional. Harga Bitcoin (BTC) turun ke  34.000 dolar AS pada 24 Februari di tengah berita invasi. Akan tetapi sejak itu sudah pulih untuk diperdagangkan di atas $38.000 pada Jumat pagi.

Pada hari Rabu, perangkat lunak perusak yang baru ditemukan yang  beredar di Ukraina, telah menyerang  ratusan komputer, menurut para peneliti di perusahaan keamanan siber ESET.  Kecurigaan asal serangan jatuh pada Rusia, yang telah berulang kali dituduh melakukan peretasan terhadap Ukraina dan negara lain. Para korban termasuk lembaga pemerintah dan lembaga keuangan. Rusia sendiri telah membantah tuduhan itu.

“Ini upaya untuk membangun kekuatan militer siber yang datang terlambat,” kata  Aushev tentang pembentukan pasukan siber ini.

Seorang pejabat keamanan Ukraina mengatakan pada awal bulan ini bahwa negara itu tidak memiliki pasukan siber militer khusus. "Tugas kami untuk membuatnya tahun ini," katanya kepada Washington Post, beberapa waktu lalu.

Aushev sendiri sudah menyatakan bahwa  dia telah menerima ratusan pelamar dan akan mulai memeriksa untuk memastikan bahwa tidak ada satupun dari mereka adalah agen Rusia.