Persentase Kesembuhan Pasien COVID-19 Tinggi Bukan Sebuah Keberhasilan

JAKARTA - Pemerintah melalui Satgas Penanganan COVID-19 maupun dari pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu yang lalu kerap menyebut persantese kesembuhan pasien COVID-19 di Indonesia berada di atas rata-rata dunia. Namun, persentase kesembuhan ini sebenarnya tidak bisa jadi patokan pandemi COVID-19 berhasil ditekan.

Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman mengatakan angka kesembuhan atau yang menurut dia lebih tepat disebut sebagai angka kepulihan bukan merupakan indikator bahwa Indonesia telah berhasil mengendalikan pandemi ini.

"Saya tegaskan angka kepulihan atau angka recovery rate ini bukanlah indikator keberhasilan dalam pengendalian pandemi COVID-19. Ini pun tidak ada dalam indikator WHO," kata Dicky kepada VOI, Jumat, 4 September.

Diketahui, Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito kerap mengatakan angka kesembuhan di Indonesia telah melaju pesat. Terbaru Rabu, 2 September kemarin dia mengatakan kasus sembuh sejak Maret hingga Agustus terus melaju dan ini menandakan jika kondisi Indonesia makin membaik.

"Kondisi membaik ditunjukkan dengan tingkat kesembuhan per bulannya. Jumlah pasien sembuh dilihat per 1 September 2020 sebanyak 177.571," ujarnya dalam konferensi pers secara daring, Rabu, 2 September.

Sementara Presiden Jokowi sempat menyinggung angka kesembuhan saat dirinya melaksanakan rapat dengan para gubernur yang dilakukan secara virtual pada Selasa, 1 September lalu.

"Di bulan Agustus. Kesembuhan kita sudah mencapai 72,17 persen. Ini yang patut kita syukuri," ungkapnya.

Pernyataan serupa juga pernah diucapkan Jokowi saat dirinya melakukan kunjungan ke Banda Aceh pada Agustus lalu. Saat memberikan pengarahan penanganan COVID-19 dia menyebut angka kesembuhan di Indonesia kini mencapai 70 persen.

"Sampai saat ini di Indonesia positif 155 ribu, tapi kita patut bersyukur yang sembuh 111 ribu, sudah 70 persen. Ini di atas rata-rata normal. Alhamdulillah," ujarnya.

Kembali ke Dicky, dia menyebut WHO tidak menempatkan angka kepulihan sebagai indikator keberhasilan penanganan COVID-19. Sebab, sebanyak 80 hingga 85 persen orang yang terjangkit COVID-19 dan tidak bergejala atau hanya bergejala ringan dapat pulih dengan sendirinya tanpa intervensi apapun. 

Dicky mencontohkan, di Australia misalnya, mereka yang bergejala ringan atau sedang biasanya akan dirawat dengan diberikan obat-obatan umum seperti paracetamol dan diberikan makanan bergizi.

"Tapi sekali lagi, bukan berarti mereka yang bergejala ini juga pulih dengan sempurna. Karena data riset terakhir menunjukkan selain 50 persen lebih orang yang tak bergejala mengalami gangguan paru dan 80 persen di antaranya mengalami kerusakan menetap di jantung," jelasnya.

Selain itu, kata Dicky, sejumlah jurnal ilmiah juga mencatat mereka yang dinyatakan pulih juga rentan terpapar kembali COVID-19. Reinfeksi ini rentan terjadi karena antibodi yang dimiliki mereka yang telah sembuh paling lama bertahan selama tiga bulan.

"Jadi ini makin memperkuat bahwa angka kepulihan ini bukan satu angka yang bisa dijadikan capaian," tegasnya.

Daripada terus menggembar-gemborkan angka kesembuhan, Dicky menilai, ada sejumlah indikator dari World Health Organization (WHO) yang harusnya dipenuhi pemerintah untuk meyakinkan masyarakat jika pandemi ini berhasil dikendalikan. 

Adapun indikator yang dimaksud WHO salah satunya adalah jumlah pengujian mencapai 1:1.000 orang penduduk tiap minggunya dengan positivity rate di bawah 5 persen dan tingkat tracing contact mencapai 80 persen minimal. "Ini yang harusnya dijadikan capaian oleh tiap negara, tiap wilayah, provinsi, kota, dan kabupaten," ungkap Dicky.

"Jadi sekali lagi tanpa mengurangi rasa syukur kita dengan banyaknya masyarakat yang sudah pulih namun prinsip pencegahan harusnya lebih diutamakan. Pencegahan yang dimaksud adalah intervensi, testing, dan lainnya itu," imbuhnya.

Lagipula, Dicky menyebut makin tinggi sebuah kasus di satu negara, tentunya angka kesembuhan juga akan banyak. 

"Jadi yang aman, kita tidak perlu repot. Ya merujuk saja target global yang ditetapkan WHO," pungkasnya.