Sesajen Untuk Meriam "Jempol Kejepit" Si Jagur
JAKARTA - Tumbuh kembang Batavia tak bisa lepas dari pengaruh bangsa Portugis. Dominasi bahasa Portugis dalam percakapan sehari-hari rakyat Batavia jadi bukti. Bukan cuma itu saja. Pengaruh Portugis terus meluas dalam ragam budaya – dari masakan, kesenian, hingga alat perang. Meriam Si Jagur salah satunya. Meriam Si Jagur dianggap keramat karena bentuknya yang unik. Konon, apapun permintaan, termasuk ingin punya anak acap kali dikabulkan. Orang-orang pun ramai-ramai memberinya sesajen.
Berdirinya Kota Batavia menjadi penanda awal kehadiran kolonialisme Belanda di Indonesia. Maskapai dagang Belanda VOC jadi penciptanya. Jayakarta ditaklukkan, Batavia pun didirikan pada 1619. VOC membuat Batavia menyerupai kota-kota di Belanda. Penduduknya pun tak boleh sembarang. Alias diseleksi. Sebagian besar kaum bumiputra dilarang bermukim di Batavia. Kecuali kaum bumiputra yang berkepentingan. Seperti mereka yang mengabdikan diri dalam dinas militer VOC. Prajurit perang di bawah pimpinan Kapitan Tahalele dari Pulau Luhu, contohnya.
Salah satu latar belakang lain dari penduduk Batavia adalah kaum budak yang dimerdekakan. Budak-budak itu kebanyakkan datang berawal dari tawanan perang VOC saat menaklukkan wilayah jajahan Portugis. Di Malaka mau pun India. Mereka termasuk budak yang dibebaskan oleh Portugis karena mau memeluk agama Kristen. Budak merdeka “Portugis Hitam” itu langgeng disebut kaum mardijker.
Oleh Belanda, kaum mardijker diberi hak istimewa. Kaum mardijker pun menjelma menjadi elemen penting yang menggerakkan roda perekonomian di Batavia. Pun kedatangan mereka membuat aktivitas sehari-hari didominasi oleh bahasa Portugis.
“Sekitar 1670 ‘warga item’ ini yang menyandang nama-nama Portugis sesudah menghuni loji VOC di Jaccatra; mereka antara lain berasal dari kapal-kapal fregat Portugis yang dirampas VOC. Sejumlah lain secara sukarela bekerja untuk Kompeni dan berasal dari tempat-tempat penampungan seperti Sukadana, Jambi, atau datang langsung dari Pantai Koromandel, India.”
“Mereka adalah pekerja tangguh untuk tahun-tahun pertama. Mereka bekerja dengan imbalan uang makan dan ransum beras sebelum akhirnya mendapat gaji bulanan yang tetap. Beberapa dari mereka direkrut menjadi pemimpin yang bertugas mengawasi para budak. Budak-budak itu didatangkan Kompeni dari kawasan pantai di India,” ungkap Hendrik E. Niemeijer dalam buku Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012).
Kedatangan kaum mardijker membuat bahasa Portugis banyak digunakan di Batavia. Termasuk di pasar-pasar. Selain berbahasa Portugis, mereka menunjukkan identitas dengan menggunakan busana yang serupa orang Eropa. Mereka menggunakan celana komprang, topi Eropa hitam, dan memakai kaus kaki serta sepatu.
Karenanya, kaum mardijker dapat memantaskan diri –seperti orang Eropa- yang mampu mengisi segala bentuk profesi di Batavia. Dari pengrajin kapal sampai mandor budak, sederet pekerjaan itu tak jarang membuat mereka hidup berkecukupan, bahkan kaya raya.
Pengaruh besar kaum mardijker secara tak langsung meluaskan budaya Portugis. Bahasa salah satunya. Mereka pun hidup laksana sejajar dengan orang Belanda. Apalagi kaum mardijker mendapatkan izin tinggal di dalam kota Batavia atau daerah luar tembok Batavia yang langgeng dikenal sebagai kawasan Ommelanden.
“Bahasa-bahasa yang sering digunakan di Batavia adalah Portugis, Melayu Rendah, dan Belanda. Ada juga bahasa Jawa, China, dan bahasa-bahasa lain dari orang-orang yang tinggal di sini, tetapi bahasa-bahasa ini hanya digunakan untuk berkomunikasi di kalangan sendiri, tidak pernah dipakai oleh bangsa lain.”
“Tetapi Portugis dan Melayu adalah dua bahasa yang dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan semua orang. Bukan hanya di Batavia, tetapi juga untuk seluruh India hingga ke Persia,” tegas Francois Valentijn sebagaimana ditulis Jean Gelman Taylor dalam buku Kehidupan Sosial di Batavia (2009).
Meriam Si Jagur
Penaklukkan wilayah jajahan Portugis oleh VOC tak hanya membawa masuk kaum mardijker semata, tapi penaklukkan itu turut mengangkut sebuah meriam dari Malaka. Meriam itu dikenal luas sebagai Meriam Si Jagur.
Sebelumnya, Meriam Si Jagur pernah menjadi bagian dari Benteng Santo Jago de Barra, lalu dipindahkan ke Benteng Portugis di Malaka. VOC menyadari kehadiran Meriam Si Jagur ketika menyerang Malaka. Kompeni sadar benar jika meriam itu adalah bikinan dari ahli cor meriam tersohor yang pernah tinggal di Goa, India, yakni Manual Tavares Baccarro.
Ambisi memiliki meriam langsung menyatu dengan semangat mengalahkan Portugis. VOC pun menang dan membawa Meriam seraya piala kemenangan ke Batavia pada 1641. Meriam Si Jagur lalu ditempatkan di Kasteel Batavia.
“Si Jagur dibawa ke Batavia sesudah VOC merebut Malaka (1641). Kemudian meriam yang memuntahkan peluru 24 pound ini ditempatkan di Benteng Batavia untuk menjaga pelabuhan. Rupanya, meriam ini terlupakan atau tertinggal karena teramat berat, waktu bentuk benteng Batavia dibongkar oleh Daendels (1809).”
“Di meriam ini ditulis dalam bahasa Latin: EX me Ipsa renata sVm – dari saya sendiri aku dilahirkan kembali. Kalimat ini menunjukkan, bahwa Si Jagur dituangkan dari 16 (=X+I+V) meriam kecil. Meriam ini dituangkan oleh M.T. Bocarro di Macau untuk Benteng Portugis di Malaka,” cerita tokoh penting bagi sejarah Jakarta, Adolf Heuken SJ dalam buku Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta (2016).
Dianggap keramat
Perpindahan pusat kota Batavia dari Batavia lama (Oud Batavia) ke kawasan Weltevreden (Nieuw Batavia) menandakan peruntukan baru Meriam Si Jagur. Meriam yang awalnya diperuntukkan untuk memperkuat benteng pertahanan, kini ditinggalkan begitu saja di Oud Batavia. Alhasil, bentuknya meriam yang unik dan melambangkan mano in fica (simbol senggama) dianggap keramat nan sakti.Meriam dengan bentuk jempol kejepit itu dipercaya dapat mendatangkan banyak manfaat. Konon, apapun permintaannya –dari ingin kaya raya, rejeki lancar, jodoh, hingga punya anak- dapat terkabulkan dengan segera. Mereka yang datang meminta berbagai macam hajat hadir dari berbagai macam kalangan, kaum Bumiputra, China, hingga Indo.
“Pintu gerbang lama ke Kasteel Batavia masih ada. Agak di luar pintu itu, di tengah lapangan rumput ada meriam perunggu besar dan terkenal. Meriam peninggalan Portugis itu memiliki kembaran di Banten. Kata orang, selama kedua meriam itu dipisahkan, Belanda akan tetap menguasai Jawa.”
“Bagian belakang meriam besar itu berbentuk tangan yang dikepalkan dengan ibu jari menonjol di antara jari telunjuk dan jari tengah. Meriam itu dianggap sakti dan bisa memberi kesuburan. Karena itu banyak perempuan yang menyembah benda itu untuk meminta anak. Saya melihat sajian diletakkan di sana: payung kertas kecil, bunga, hio, dan bahkan makanan,” pungkas Justus van Maurik dalam buku Ketoprak Betawi (2001).
Juri kunci Meriam Si Jagur tak lupa menambah marwah keramat benda tersebut dengan aktif memandikan meriam dengan air kembang sampai ditaburi bunga. Gaung kebesaran Meriam Si Jagur sebagai benda keramat mulai meluas.
Mereka yang datang tak saja dari Batavia, tapi dari luar Batavia, seperti Bandung, Cirebon, dan Surabaya. Mereka yang datang berkeyakinan permintaannya dapat dikabulkan oleh Si Jagur.
Kondisi itu bahkan bertahan hingga Indonesia merdeka. Sekali pun peziarah yang datang terbatas pada orang-orang dari kampung, akan tetapi kedatangan peziarah menjadi rezeki bagi mereka yang berjualan di sekitar Meriam Si Jagur. Mereka turut mendapatkan durian runtuh.
Dagangan mereka menjadi laris manis, apalagi di hari Minggu. Yang paling diuntungkan adalah penjual sesajen sebab mereka yang datang diharuskan membawa sesajen. Demi kelancaran doa, katanya. Kemudian, peziarah akan diminta untuk segera menaburkan kembang dan membakar kemenyan saat bernazar di hadapan Si Jempol Kejepit.
“Dapat pula saya tambahkan di sini, pada 1950-an Meriam Si Jagur yang terkenal masih terletak di sebuah tanah lapang di pinggir sebelah kiri Jalan Cengkeh menuju ke Pasar Ikan Lama, tidak jauh sebelum Pasar Ikan. Banyak orang kampung yang pergi berziarah ke meriam peninggalan Portugis ini dengan membawa sedekah dan menaburkan kembang di atasnya. Berziarah ke Meriam Si Jagur dipercaya orang dapat memberi berkah kepada pasangan yang menginginkan anak.”
“Entah kenapa dan bagaimana sampai ada kepercayaan ini, saya kurang tahu pasti. Mungkin karena bentuk ukiran genggaman tangan dengan jempol yang diselipkan antara jari telunjuk dan jari tengah yang terletak di pangkal meriam ini, yang disimbolkan sebagai lambang seks dan kesuburan. Waktu itu memang banyak penduduk Jakarta, umumnya orang kampung, yang masih percaya takhayul seperti ini,” tutup Firman Lubis dalam buku Jakarta 1950-1970 (2018).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH JAKARTA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.
MEMORI Lainnya