KPK Dikritik Anak Walkot Rahmat Effendi, Firli Bahuri Balas 'Bukan karena Politik Tapi Merujuk Barang Bukti'
JAKARTA - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri membantah penangkapan Wali Kota Bekasi nonaktif Rahmat Effendi atau biasa dipanggil Pepen bermuatan politik.
Hal ini disampaikan karena adanya tudingan dari anak Pepen, Ade Puspitasari ramai di media sosial. Dalam cuplikan video yang beredar di media sosial, Ketua DPD Golkar Kota Bekasi itu tak terima ayahnya ditangkap dan menyebut ada operasi khusus di KPK yang mengincar partai berlambang beringin tersebut.
"Seseorang menjadi tersangka bukan karena ditetapkan KPK, bukan asumsi, bukan juga berdasarkan opini atau kepentingan politik," kata Firli dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan yang dikutip Senin, 10 Januari.
Ia menegaskan penangkapan terhadap Pepen sudah didasari barang bukti yang cukup. Lagipula, Firli mengatakan lembaganya tidak akan pernah berpolitik.
"KPK tidak ikut dan tidak akan terlibat dalam politik karena KPK adalah lembaga negara dalam rumpun eksekutif yang independen dan pelaksanaan tugas dan kewenangannya tidak terpengaruh pada kekuasaan manapun," tegas eks Deputi Penindakan KPK itu.
"Mohon dipahami, sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya dan/atau keadannya berdasarkan bukti permulaan yang cukup patut diduga sebagai pelaku tindak pidana," imbuh Firli.
Dalam pernyataannya, Ade Puspitasari mengatakan Partai Golkar memang saat ini tengah diincar. Hanya saja, dia tak menyebut siapa yang mengincarnya.
"Kuning ini sedang diincar. Kita tahu sama tahu siapa yang mengincar kuning. Tapi nanti di 2024, jika kuning koalisi dengan oranye, matilah warna lain," ungkapnya dalam video yang beredar di media sosial.
Tak hanya itu, dia juga mengatakan penangkapan terhadap sang ayah adalah bentuk pembunuhan karakter. Apalagi, dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu, 5 Januari lalu, KPK disebut Ade tidak membawa apapun saat menangkap Pepen.
"Saksinya banyak, staf yang di rumah itu saksinya. Bagaimana Pak Wali (Rahmat Effendi) dijemput di rumah, bagaimana Pak Wali hanya membawa badan. KPK hanya membawa badan Pak Wali, tidak membawa uang sepeser pun," kata Ade.
Ade menilai, OTT seharusnya dilakukan ketika ada transaksi. "Ini tidak ada. Bahwa Pak Wali beserta KPK tidak membawa uang dari pendopo. Uang yang ada di KPK itu uang di iuran pihak ketika, dari kepala dinas, dari camat. Itu pengembangan, tidak ada OTT, memang ini pembunuhan karakter," ujarnya.
Baca juga:
- Buntut OTT Bekasi, Muncul Tudingan Pembunuhan Karakter dari Anak Wali Kota Rahmat Effendi yang Dinilai Bikin Gaduh
- Anak Tak Terima Rahmat Effendi di-OTT, KPK: Bikin Gaduh
- KPK Temukan Bukti Dugaan Suap Wali Kota Bekasi Usai Geledah Kantor Hingga Rumah Dinas
- Suap 'Sumbangan Masjid' Hingga Setoran Pegawai Pemkot Bekasi Antarkan Wali Kota Rahmat Effendi ke Rutan KPK
Diberitakan sebelumnya, KPK menetapkan Rahmat Effendi atau Pepen bersama delapan orang lainnya sebagai tersangka dugaan suap pengadaan barang dan jasa serta lelang jabatan di Pemerintah Kota Bekasi.
Pepen bersama M. Bunyamin yang merupakan Sekretaris Dinas Penanaman Modal dan PTSP Kota Bekasi; Lurah Jati Sari, Mulyadi alias Bayong; Camat Jatisampurna, Wahyudin; dan Kepala Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan Kota Bekasi, Jumhana Lutfi ditetapkan sebagai penerima suap.
Sementara Direktur PT MAM Energindo, Ali Amril; swasta bernama Lai Bui Min; Direktur PT Kota Bintang Rayatri, Suryadi; dan Camat Rawa Lumbu, Makhfud Saifudin ditetapkan sebagai pemberi suap.
Sebagai penerima suap, Pepen dan empat orang lainnya disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sementara para pemberi disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 huruf f serta Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.