Meski Neraca Perdagangan Surplus, Itu Bukan Tanda Ekonomi Telah Pulih

JAKARTA - Meski Indonesia mencatat surplus pada neraca perdagangan di bulan Juli 2020, hal tersebut dianggap belum menjadi pertanda pulihnya ekonomi di tengah pandemi COVID-19.

Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Juli 2020 surplus 3,26 miliar dolar AS, atau lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang sebesar 1,27 miliar dolar AS. Capaian ini diperoleh dari ekspor sebesar 13,73 miliar dolar AS yang lebih tinggi dari impor sebesar 10,47 miliar dolar AS selama Juli 2020.

BPS melaporkan ekspor Juli 2020 naik 14,33 persen dibanding Juni 2020. Namun, ekspor secara tahunan mengalami penurunan 9,90 persen dari 15,24 miliar dolar AS pada Juli 2019. Hal tersebut dipicu oleh penurunan ekspor migas yang penurunan hingga 49,69 persen secara year on year (yoy).

Sementara dari sisi impor, pada Juli 2020 mengalami penurunan 32,55 persen menjadi 15,52 miliar dolar AS dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Jika dirinci, impor penggunaan barang mengalami penurunan serentak dengan kontribusi terbesar dipimpin oleh penurunan bahan baku/penolong 34,46 persen, impor barang modal turun 29,25 persen, dan impor barang konsumsi turun 24,11 persen (yoy).

Namun, secara bulanan, impor barang modal pada Juli 2020 mengalami kenaikan 10,82 persen dibandingkan bulan sebelumnya.

Ekspor Juli 2020 juga tidak terlalu luar biasa dibandingkan dengan sebelum pandemi COVID-19. Ekspor pada Juli 2020 tersebut didorong oleh dua negara tujuan ekspor seperti China yang ekonominya mulai pulih dan Amerika Serikat yang melakukan relaksasi.

Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengatakan, berbicara Indonesia, masih terlalu dini untuk bilang bahwa ekonomi Tanah Air telah pulih. Apalagi menurutnya impor bahan baku penolong yang berkontribusi di atas 70 persen masih turun.

"Saya kira kita ekonomi Indonesia masih tertekan. Meskipun ada pemulihan yang relatif kecil," katanya, Rabu 19 Agustus.

Tauhid mengatakan yang menunjukkan ekonomi mulai pulih adalah ketika arah neraca perdagangan semakin berimbang dengan impor yang cukup tinggi.

"Karena kita melakukan re-ekspor bahan baku yang biasanya diolah kembali menjadi komoditas ekspor seperti tekstil, alas kaki, sampai dengan industri otomotif," jelasnya.

Melihat dari jenis impor, paling dominan pada peralatan semperti mesin untuk kepentingan dalam negeri. Artinya, pertumbuhan masih didorong aktivitas di level domestik belum ada ekspansi di luar negeri.