Buntut Pernyataan Politikus NasDem soal Kedudukan DPR Setara Presiden, Pakar Hukum: Pintu Masuk Diskusi UU Kepresidenan
JAKARTA - Pernyataan anggota DPR termuda dari Partai NasDem, Hillary Brigitta Lasut, soal kedudukan anggota dewan sama dengan presiden menuai beragam respons publik.
“Sebagai politikus, normal saja dia (Hillary) berwacana seperti itu. Sebagai sebuah diskursus, tidak ada alasan untuk menyalahkan Hillary,” ujar Margarito Kamis di Jakarta, Senin, 20 Desember.
Margarito menilai, pernyataan Hillary menarik menjadi diskursus dari aspek konstitusi. Menurutnya, DPR harus menjadikan pernyataan Hillary sebagai pintu masuk untuk mendiskusikan UU yang mengatur tentang lembaga kepresidenan agar hak-hak presiden dapat didefinisikan di dalam UU itu.
“Sebab, selama ini tidak ada UU kepresidenan,” kata Margarito.
Baca juga:
- Cabut Permohonan Minta Anggota TNI jadi Tim Pengamanan, Hillary Brigitta Lasut: Disuruh Partai
- Anggota DPR Termuda Hillary Brigitta Batal Minta Jasa Pengamanan dari TNI, Minta Maaf Sudah Bikin Gaduh
- Siapa Hillary Brigitta Lasut Sebenarnya, Anggota DPR Termuda yang Minta Dikawal TNI
- Respons Fraksi NasDem Tanggapi Keinginan Hillary Brigitta Lasut Punya Ajudan dari TNI
Margarito mengatakan, pada level tertentu hak presiden tidak diatur dalam konstitusi. Hal ini, kata dia, berbeda dengan DPR. Pada bagian tertentu, anggota DPR tidak bisa digugat karena mempunyai hak imunitas dalam menjalankan fungsinya sebagai anggota DPR.
“Memang dalam ilmu konstitusi, kendati kewenangan presiden tidak didefinisikan di dalam konstitusi, tetapi dari waktu ke waktu, dalam sejarah konstitusi menunjukkan bahwa presiden itu mendapatkan kekuasaan lain yang tidak diatur dalam konstitusi atau UU,” jelas Margarito.
Bahkan, lanjutnya, presiden dalam ilmu konstitusi disebut memiliki presidential privilege. “Yang itu semua tidak berasal teks konstitusi tetapi tafsir presiden atas apa yang disebut dalam presidential privilege,” tegas Margarito.
Margarito mengingatkan bahwa banyak hak dan kewenangan presiden hanya dapat digunakan atau efektif bekerja setelah mendapatkan persetujuan atau pertimbangan DPR.
“Memang di mana-mana presiden berkantor di kantor kepresidenan. Di Indonesia, Istana Negara. Di situlah dia berkantor dan di situ pula dia tinggal menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan dan administrasi. Praktis, kantor presiden itu di Istana Negara dan di situ pula rumahnya," terangnya.
Oleh karena itu, menurut Margarito, persoalan seperti ini sangat tergantung bagaimana DPR dan presiden membuat kebijakan politik. Menurutnya, kalau saja DPR mendesak pemerintah membuat kebijakan baik Perpres atau Permenkes atau keputusan Menkes yang menyatakan, anggota DPR melakukan karantina mandiri di rumah atau tempat yang ditentukan, dilihat dari ilmu hukum atau konstitusi maka hal itu masuk akal.
“Taruhlah mereka membuat kebijakan bahwa isolasi atau karantina harus ada di rumah presiden terpisah dari istana, bisa saja dibuat. Perihal anggota DPR karantina harus di tempat yang ditentukan begitu, dan presiden dan karantina di Istana, yaitu konsekuensi saja dari kevakuman hukum. Sebab tidak ada hukum yang nyata-nyata mengaturnya,” tegas Margarito.