Andai Society dan Authority Sepakat Menumpas Para Bajingan Kekerasan Seksual di Negeri Ini

JAKARTA - Pemerkosaan berujung tewasnya Novia Widyasari mengangkat kembali suramnya penegakan hukum kasus kekerasan seksual di Indonesia. Tak cuma dari segi hukum. Melihat diskusi soal kasus ini di media sosial, kita masih melihat banyaknya perspektif keliru soal isu kekerasan seksual. Andai society dan authority di negeri ini sepakat memusnahkan para bajingan pelaku kekerasan seksual, barangkali kita bisa menang. Cara yang sayangnya belum dicoba.

"It's Just a Joke."

Sebuah tulisan besar dalam poster berwarna merah ditempel di dalam subway di New York City. Kata "Just a Joke" dalam poster itu dicoret. Di bawahnya tertulis "Sexual Harassment" dalam tipografi yang kontras. Maka tulisan itu terbaca jadi:

"It's Just a Joke Sexual Harassment."

Poster itu dipasang NYC Commission on Human Rights sebagai kampanye antipelecehan dan antikekerasan seksual. Di bagian bawah poster tertulis: You Report It, We Get It, Let's End It.

"Di NYC Commission on Human Rights, kami menginvestigasi klaim tentang kekerasan seksual dan kami siap melawannya untuk Anda," tertulis dalam lanjutan pesan di poster.

Poster kampanye NYC Commission on Human Rights (Twitter/@pinotski)

Melansir situs web resmi, NYC Commission on Human Rights bertanggung jawab mendorong penegakan hukum dalam konteks hak asasi manusia (HAM). Komisi ini juga bertugas mendidik masyarakat dan mendorong hubungan positif antar-masyarakat. Ada dua biro besar dalam pelaksanaan kerja Komisi: Biro Penegakan Hukum dan Biro Hubungan Masyarakat

Biro Penegakan Hukum bertanggung jawab dalam penerimaan pengaduan dan menyelidiki aduan itu hingga mendampingi korban dalam proses penuntutan. Sementara Biro Hubungan Masyarakat bertugas mendidik publik tentang HAM dan membantu menumbuhkan pemahaman serta rasa hormat antara banyak komunitas masyarakat di dalam kota.

Tak hanya soal kekerasan dan pelecehan seksual. Komisi juga menangani masalah sosial lain terkait HAM, seperti diskriminasi ras atau golongan. Dalam konteks ini mereka kerap mengedepankan prinsip keadilan restortif untuk mengatasi kerugian yang muncul, baik dalam penanganan pengaduan ataupun dalam kemitraannya di masyarakat.

Poster kampanye NYC Commission on Human Rights ini dibagikan oleh seniman asal Indonesia, Wahyu Ichwandardi alias Pinot. Sejak beberapa tahun lalu, animator yang dikenal dengan karya animasi klasik retronya ini memang tinggal di New York. Kata Pinot, "minimal di state NY ini, perkara pelecehan (apapun bentuknya) cukup teges."

"Gubernurnya pun bisa kena. Apalagi di perusahaan. Ini poster pemerintah yang wajib ditempel di tempat kerja, termasuk kantor gue. Ada kasus, pecat, masuk jalur hukum," tulisnya dalam keterangan foto yang ia unggah di Twitter @pinotski, dikutip VOI, Senin, 6 Desember.

Hukum HAM Kota New York adalah salah satu undang-undang (UU) hak sipil paling komprehensif di Amerika Serikat (AS). Di New York, UU melarang diskriminasi dalam pekerjaan, lingkungan rumah, serta akomodasi publik. Kerangka diskriminasi yang diatur, termasuk persoalan ras, warna kulit, agama/keyakinan, usia, asal negara, status imigrasi atau kewarganegaraan, jenis kelamin, identitas gender, kehamilan, kecacatan, status perkawinan hingga status kemitraan.

UU juga memberikan perlindungan terhadap diskriminasi dalam pekerjaan berdasar status pengangguran, catatan penangkapan atau pemidanaan, sejarah kredit, status pengasuh, status sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga, penguntitan, dan pelanggaran seksual serta keputusan menyangkut kesehatan seksual dan reproduksi.

Otoritas secara sadar membangun sistem yang dapat melindungi masyarakatnya dari praktik pelecehan dan kekerasan seksual. Tak cuma itu. Otoritas juga habis-habisan mendidik publik soal krusialnya isu ini. Dengan segala kekuatan yang terbangun itu, mulai dari UU, politik kebijakan, kesadaran masyarakat, New York bisa melawan kekerasan seksual, bahkan ketika kejahatan itu dilakukan Gubernur mereka sendiri, Andrew Cuomo.

Mantan Gubernur New York Andrew Cuomo (Sumber: Wikimedia Commons)

Pada Agustus lalu, Cuomo mengundurkan diri setelah sebuah penyelidikan menemukan sejumlah kasus pelecehan seksual yang ia lakukan terhadap banyak perempuan. Pada Oktober, Cuomo dipanggil ke pengadilan untuk menghadapi gugatan yang diajukan Ibu Kota Negara Bagian Albany. Dalam gugatan itu Cuomo diduga meraba-raba seorang wanita di rumah dinasnya.

Tak cuma satu. Penyelidikan hingga saat itu mengindikasikan ada sebelas karyawan wanita Cuomo yang dilecehkan. Pihak Cuomo hingga waktu itu menegaskan bantahan dan menyebut segala tuduhan itu bersifat politis. Kasus Cuomo jadi perhatian nasional. Bahkan Presiden Joe Biden yang sesama politikus Demokrat jadi salah satu yang mendorong Cuomo mundur.

Di Indonesia

Di Indonesia, otoritas dikritik habis. Lembaga penegak hukum utama, Polri lagi-lagi dinilai gagal menangani kasus semacam ini secara profesional. Bahkan dari pernyataan resmi yang dirilis Polri, kita dapat melihat ada kesalahan pada bagaimana lembaga ini menyikapi kasus pelecehan ataupun kekerasan seksual.

Beberapa jam setelah kasus pemerkosaan Novia Widyasari oleh anggota polisi bernama Randy Bagus viral, polisi menangkap Sang Bripda yang bertugas di Polres Pasuruan. Dengan percaya diri akun Twitter Divisi Humas Polri mengabarkan itu. Namun penggunaan diksi dalam keterangan unggahan itu banjir kritik.

Eka Kurniawan, misalnya. Lewat akun Twitter, @gnolbo, Eka mengkritik diksi-diksi yang digunakan polisi. Dalam unggahan Twitternya, Polri menyebut beberapa kata seperti "bergerak cepat", "oknum" dan "perbuatan layaknya suami-istri".

"Membaca cara polisi berbahasa saja, kita tahu salah satu masalahnya di mana: DI POLISI!," tulis Eka, dikutip Minggu, 5 Desember.

Tak cuma Eka. Budayawan, Sudjiwo Tedjo juga mengkritisi diksi yang digunakan polisi. Misalnya, kata "resmi berpacaran" yang digunakan polisi untuk menggambarkan hubungan antara Randy dan korbannya, Novia.

"'Resmi Berpacaran?' Yth Pak Kapolri Jend @ListyoSigitP, mohon polisi diwajibkan belajar bahasa Indonesia (dgn mentor/sks/dll) terutama menyangkut daya berlogikanya.

"Inggris dan beberapa negara lain sudah lama melakukan penggemblengan bahasa bagi para perwiranya," tulis Sudjiwo Tedjo dalam akun Twitternya, @sudjiwotedjo.

Menurut penelusuran VOI pada Senin sore pukul 16.55 WIB, unggahan penuh diksi kontroversial yang diunggah Polri sekarang telah dihapus. Meski begitu kita dapat melihat sejumlah opini keliru lain yang berseliweran di media sosial.

Masih banyak publik yang menempatkan korban sebagai pihak yang salah: reviktimisasi. Narasi mereka kebanyakan memerkarakan keputusan korban menjalin hubungan romantis dengan Randy. Beberapa bahkan bawa-bawa perkara haram.

Kegagalan menempatkan keberpihakan pada sisi korban menunjukkan kesalahan berpikir yang masif, yang tak hanya membelenggu otoritas penegak hukum tapi juga masyarakat luas. Kembali ke cacat diksi yang dikicaukan Polri, misalnya.

Hal itu bukan satu-satunya masalah. Kapolri Jenderal Listyo Sigit kini didesak untuk mendalami kabar yang menyebut adanya pengabaian yang dilakukan Divisi Propam terhadap laporan yang dilayangkan Novia Widyasari sebelum bunuh diri.

Adalah Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni yang menyoroti ini. Menurut Sahroni, jika benar, pengabaian laporan ini sangat berbahaya. Karenanya ia meminta Listyo mengecek siapa petugas yang menerima laporan korban dan mengapa laporan itu diabaikan.

"Dilihat siapa bagian yang menangani dan harus dibuka secara terang-benderang. Jadi saya rasa pihak yang terlibat tidak hanya pelaku tapi memang ada pengabaian sistematis," kata Sahroni.

Ilustrasi foto (Ahmes Ashhaadin/Unsplash)

Hingga Oktober 2021, Komisi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) telah menerima 4.500 laporan. Angka itu dua kali lipat dari catatan 2020. Dalam konferensi pers, Senin, 6 Desember, Komnas Perempuan juga menjelaskan kronologi pelaporan yang dilakukan Novia Widyasari kepada mereka. Laporan yang tindak lanjutnya terkendala.

"Jadi betul bahwa Almarhumah (Novia) menyampaikan pengaduannya di bulan Agustus tengah malam melaui pengaduan onlne. Dalam pengaduannya itu dia menyampaikan belum lengkap. Tapi intinya dia mengalami kekerasan dalam pacaran," tutur Komisioner Siti Aminah Tardi.

"Setelah melalui proses komunkasi kami mendapatkan informasi bahwa korban mengalami kekerasan secara bertumpuk dan berulang dalam durasi hampir dua tahun sejak tahun 2019 atau sejak membangun relasi pacaran dengan pelaku. Dia terjebak dalam siklus kekerasan dalam pacaran, yang kemudian dia menjadi korban eksploitasi seksual dan pemaksaan aborsi."

"Lonjakan (kasus) sudah kami amati, kami kenali di tahun 2020. Sementara sumber daya Komnas Perempuan sangat-sangat terbatas. Kami mencoba memperbaiki untuk bisa membenahi mekanisme pengaduan, mulai dari verifikasi kasus, pencarian lembaga rujukan, memastikan lembaga rujukan dan korban hukum juga membawa kasus ini untuk disikapi, baik melalui surat rekomendasi maupun pemberian keterangan ahli di pengadilan."

"Namun lonjakan (kasus) itu mengakibatkan antrean kasus itu semakin panjang sehingga memang keterlambatan penyiakpan itu menjadi kekhawatiran yang kami pikul."

Tarik-ulur RUU PKS

Gedung DPR RI (Sumber: Antara)

Dalam konteks politik kebijakan, terombang-ambingnya nasib Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) makin mendesak diselesaikan. Kita tahu produk hukum ini telah digoreng lama di DPR. Tak ada hasil pasti hingga hari ini.

Advokasi mendorong pengesahan RUU PKS bukan perkara mudah. Dilansir dari berbagai sumber, proses legislasi saja dibutuhkan setidaknya lima tahun untuk memasukkan RUU PKS ke daftar program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2016-2019 dan prolegnas prioritas di 2017.

Pada 2018, Komisi VIII sempat melakukan pembahasan RUU PKS. Komisi VII juga melakukan kunjungan kerja ke Kanada dan Prancis untuk mematangkan konstruksi pemikiran RUU PKS. Melihat drafnya, RUU PKS tak hanya mengatur tentang pidana, pemidanaa, dan penanganan perkara kasus kekerasan seksual sejak pelaporan hingga putusan.

RUU PKS juga mengatur pencegahan kekerasan seksual dan bagaimana memulihkan korban. Pada 2019, RUU PKS sempat dibahas oleh Komisi VIII bersama Komisi III. Pembahasan ini mendalami kaitan RUU PKS dengan RUU KUHP.

Pembahasan kemudian berhenti karena para anggota legislatif terpecah fokus ke Pemilu 2019. Hajat politik lima tahunan itu juga berdampak pada peningkatan kampanye negatif terhadap RUU PKS. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) juga memangkas lebih dari 90 pasal dalam DIM RUU PKS.

Sampai akhir jabatan para legislator, tak ada pembahasan lanjutan hingga komitmen pembahasan RUU PKS dijanjikan sebagai carry over alias dioper ke legislator periode selanjutnya. Namun kenyataannya, di 2020, RUU PKS gagal disertakan dalam carry over. RUU PKS bahkan sempat dikeluarkan dari prolegnas 2020-2024.

DPR meralat sikap seiring kencangnya protes. Sejumlah anggota DPR kemudian menyatakan RUU PKS tak dikeluarkan dari prolegnas, melainkan hanya dikeluarkan dari pembahasan di Komisi VIII. Penolakan sejumlah golongan politik dan masyarakat terhadap pengesahan RUU PKS juga jadi soal.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) jadi kekuatan paling besar dalam arus penolakan di parlemen. Sementara, di luar Gedung Bundar, sejumlah kelompok masyarakat juga skeptis terhadap kebermanfaatan RUU PKS.

Namun di luar penolakan itu, satu hal yang juga jadi tantangan berat adalah karena DPR mewacanakan RUU PKS ke dalam dua pilihan, antara menjadikannya UU administrasi atau jadi UU pidana khusus. Padahal, berkaca dari pengalaman korban kekerasan seksual, kebutuhan perlindungan hukum tidak bisa dibatasi antara hukum administasi atau pidana khusus.

Keduanya dibutuhkan. RUU PKS idealnya jadi UU administrasi untuk memperkuat aspek pencegahan dan pemulihan. Sementara, penanganan perkara khusus kekerasan seksual --mulai dari bentuk pidana, pemidanaan, hukum acara khusus-- dibutuhkan dalam konteks pidana khusus. Jadi, apa negara ini mau bersepakat untuk menumpas para bajingan pelaku kekerasan seksual?

*Baca Informasi lain soal BERITA NASIONAL atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya