Bagikan:

MALANG - Sidang lanjutan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) Kota Batu, Jawa Timur, mengagendakan duplik atau pembacaan jawaban tergugat atas replik yang telah disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Kepala Seksi Pidana Umum (Kasi Pidum) Kejari Kota Batu Yogi Sudharsono mengatakan dalam duplik yang disampaikan oleh kuasa hukum terdakwa JE tersebut tetap menyatakan bahwa kasus kekerasan seksual itu merupakan rekayasa.

"Materi duplik yang disampaikan kuasa hukum kurang lebih sama seperti yang disampaikan dalam pledoi sebelumnya. Intinya menyebutkan bahwa perkara ini merupakan rekayasa," kata Yogi dilansir ANTARA, Rabu, 24 Agustus.

Yogi menjelaskan, sidang lanjutan kasus kekerasan seksual yang menjerat pemilik Sekolah SPI Kota Batu tersebut akan kembali dilaksanakan pada 7 September 2022. Dalam sidang tersebut, akan diagendakan pembacaan putusan oleh Majelis Hakim.

Menurutnya, penundaan agenda pembacaan putusan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Sekolah SPI tersebut, dikarenakan Majelis Hakim membutuhkan penambahan waktu untuk mengambil keputusan dalam kasus tersebut.

"Ditunda selama dua minggu untuk pembacaan putusan Majelis Hakim. (Penundaan itu) karena nanti mungkin akan dibuat pertimbangan," ujar Yogi.

Pihaknya saat ini belum memutuskan untuk mengajukan banding jika hasil putusan Majelis Hakim tidak lebih rendah dari tuntutan yang disampaikan. JPU akan melihat keputusan hakim dan tidak ingin berandai-andai.

"Kita lihat dulu putusannya, kita tidak ingin berandai-andai," ujarnya.

Sementara itu salah satu kuasa hukum JE, Dito Sitompul mengatakan bahwa JPU tidak memiliki cukup bukti untuk membuktikan seluruh dakwaan yang ditujukan kepada JE. Penasihat hukum meminta Majelis Hakim untuk memutus bebas JE.

"Kami melihat sejak awal bahwa perkara ini tidak cukup bukti. JPU tidak dapat membuktikan seluruh dakwaan yang didakwakan kepada klien kami," katanya.

Dia menilai, penundaan pembacaan putusan yang dilakukan oleh Majelis Hakim selama dua minggu tersebut, dikarenakan Majelis Hakim membutuhkan kecermatan dalam memutus perkara tersebut.

"Putusan dua minggu lagi, karena hakim memerlukan kecermatan dalam memutus perkara ini," imbuhnya.

Dalam kasus tersebut, yang menjadi korban dugaan kekerasan seksual ada sebanyak satu orang saksi korban dengan inisial SDS. Hal tersebut merupakan fakta persidangan yang saat ini berjalan.

JPU menuntut terdakwa JE dengan pasal pasal 81 ayat 2 UU nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU nomor 1 tahun 2016, tentang perubahan kedua atas UU nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menjadi UU Juncto pasal 64 ayat 1 KUHP.

JE dituntut hukuman penjara 15 tahun subsider enam bulan dengan denda Rp300 juta, serta membayar restitusi kepada korban sebesar Rp44 juta.