Kata Pengamat, UU Ciptaker Sudah Menyertakan Partisipasi Publik
JAKARTA - Pengamat politik Adi Prayitno dan pengamat ekonomi Piter Abdullah tidak sependapat dengan penilaian Mahkamah Konstitusi (MK) yang menganggap pembuatan UU Cipta Kerja kurang memenuhi asas keterbukaan dalam menyertakan partisipasi publik. Mereka diminta tanggapannya tentang putusan MK soal UU Cipta Kerja yang menjadi sorotan berbagai pihak, Minggu, 28 November.
Menurut pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, selama proses pembentukan UU Ciptaker, pemerintah dan DPR membuka diri terhadap masukan dari berbagai pihak, termasuk kalangan akademisi dan buruh. Adi juga mengingatkan, demo yang menolak UU Ciptaker baru muncul setelah UU disahkan.
“Saat proses pembuatan kan buruh dan sejumlah pihak pun kan bisa saja menyampaikan draft UU tandingan misalnya. Pemerintah dan DPR sebenarnya terbuka terhadap masukan dari siapapun,” katanya.
Adi juga menyatakan, yang terjadi sebenarnya, banyak pihak tidak memberikan masukan saat proses pembuatan UU karena rumitnya permasalahan. Apalagi UU Ciptaker merangkum banyak UU.
Baca juga:
- Pernyataan Lengkap Presiden Jokowi yang Komentari Putusan MK Tentang UU Cipta Kerja
- Pimpinan DPR Segera Jadwalkan Rapat Perbaikan UU Cipta Kerja dengan Pemerintah Sebelum Reses
- Setelah Tahu UU Cipta Kerja Diputus Inkonstitusional, Jokowi Minta Menterinya Jalankan Putusan MK
- Akhirnya Jokowi Merespon Putusan MK Soal UU Cipta Kerja, Kasih Garansi Kepastian Investasi di Indonesia
Sementara Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah menganggap, soal transparansi bersifat sangat subjektif, tergantung siapa yang menilai. Yang jelas, proses pembuatan UU Ciptaker sama persis dengan pembuatan UU yang lain, dalam menampung aspirasi dari masyarakat.
Keduanya juga tidak sependapat dengan pandangan sejumlah buruh bahwa penetapan upah minimum provinsi (UMP) otomatis gugur dengan adanya putusan MK. Sebab, tanpa ada UU Ciptaker pun pemerintah memiliki kewenangan untuk menetapkan upah. Bahkan, Adi menyebut pernyataan buruh soal UMP yang harus batal karena putusan MK sebagai hal yang tidak nyambung.
Selanjutnya Adi menilai, putusan MK tentang UU Ciptaker bersifat paradoks. Sebab, MK menganggap UU Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 tapi di sisi lain MK memberi waktu 2 tahun untuk revisi Undang-undang tersebut. Akibatnya, putusan MK menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
Meskipun demikian, Adi yakin putusan MK tidak akan berdampak banyak terhadap dunia usaha karena sebagian dari Undang-undang tersebut sudah berjalan untuk melakukan recovery ekonomi. “Bahkan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan dan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia sudah berhasil menarik sejumlah investor dari luar negeri setelah lahirnya UU Ciptaker. Selain itu, dunia usaha juga masih berjalan seperti biasa,” kata Adi.
Sedangkan Piter menyatakan, bisa jadi putusan MK akan membuat dunia usaha berskala besar atau investor dari luar negeri akan bersikap wait and see. Tapi jika pemerintah dan DPR bisa melakukan revisi UU Ciptaker dalam waktu secepatnya, hal itu tidak akan menjadi masalah. “Selain itu, semua ini tergantung faktor komunikasi pemerintah dan DPR kepada masyarakat. Jika komunikasinya tidak baik, hal yang baik pun bisa tidak diterima dengan baik,” katanya.
Namun Adi mengingatkan, tahun depan merupakan tahun politik menjelang Pemilu. Di tahun politik, katanya, bisa muncul pihak-pihak yang mengganggu proses revisi undang-undang Ciptaker. Karena itu, dia berharap, revisi UU Ciptaker bisa selesai dalam waktu singkat untuk menghindari adanya politisasi oleh pihak tertentu.
Sementara itu, Piter Abdullah mengatakan, putusan MK tidak menyangkut substansi dan tidak mengabulkan tuntutan pihak penggugat. Sebab, putusan hanya berkaitan dengan prosedur pembuatan Undang-undang. MK juga tidak menggugurkan apa yang sudah dibuat DPR bersama pemerintah.
Selain itu, Piter juga yakin pemerintah dan DPR akan segera memenuhi perintah MK. Dia yakin, tidak akan ada persoalan besar dalam melakukan revisi UU Ciptaker karena posisi pemerintah di parlemen saat ini sangat kuat