JAKARTA - Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) Adinda Tenriangke Muchtar menilai Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menciptakan pasar tenaga kerja yang fleksibel di Indonesia.
"UU ini mencoba menciptakan pasar tenaga kerja yang fleksibel di Indonesia. Regulasi yang kaku, gemuk, dan rentan korupsi jelas akan menghambat kesempatan orang untuk bekerja," ujar Adinda dilansir Antara, Minggu, 15 November.
Menurut dia, kesempatan kerja akan terbuka lebih luas jika kebebasan berusaha juga dipermudah, hal ini yang dicoba didorong oleh UU Cipta Kerja.
Tidak hanya itu, UU ini juga tetap mempertimbangkan hak pekerja termasuk merujuk ke UU Ketenagakerjaan yang ada.
"Tentu saja, dalam hal yang tidak termaktub dalam UU ini, bukan berarti mengabaikan hak-hak pekerja dan tanggung jawab pemberi kerja," kata pengamat ekonomi tersebut.
BACA JUGA:
Pada prinsipnya, kebebasan ekonomi tetap didasarkan pada kesepakatan para pihak dan bukan pemaksaan, apalagi kekerasan. Di sinilah seharusnya peran pemerintah ditegaskan dan negara hadir, lewat penegakan hukum.
Permasalahan terhadap pertumbuhan dan kebebasan ekonomi, termasuk kebebasan berusaha, tidak lepas dari permasalahan regulasi yang gemuk dan tumpang tindih, serta terbukti rentan akan korupsi dan biaya usaha yang tinggi.
"UU Cipta Kerja ditujukan untuk mendorong efisiensi regulasi, termasuk untuk meningkatkan investasi," kata Adinda.
UU ini juga berpotensi untuk membantu sektor industri manufaktur di Indonesia, mengingat sektor ini saja bisa membutuhkan perizinan konstruksi sampai 200 hari. Belum lagi biaya transaksi lainnya yang harus dihadapi di daerah.
"Dengan adanya efisiensi regulasi dan kemudahan berusaha, yang tentunya harus diikuti komitmen dan penegakan hukum yang jelas, akan memberikan kepastian hukum kepada para pengusaha maupun investor untuk membangun lebih banyak industri manufaktur di Indonesia dan sektor lainnya," ujar pengamat tersebut.