Tolak Pembatasan COVID-19, 35 Ribu Pengunjuk Rasa Terlibat Bentrokan dengan Polisi di Belgia
JAKARTA - Polisi dan pengunjuk rasa terlibat bentrokan di jalan-jalan Kota Brussels, Belgia pada Hari Minggu dalam demonstrasi menolak pembatasan COVID-19 yang diberlakukan pemerintah.
Mengutip Reuters 22 November, saksi mengatakan polisi menembakkan meriam air dan gas air mata ke arah para pengunjuk rasa, yang kemudian melemparkan batu dan bom asap.
Sementara, pihak kepolisian menyebut demonstrasi yang semula berlangsung damai sebelum kekerasa pecah tersebut, diikuti sekitar 35 ribu orang.
Para pengunjuk rasa yang mengenakan hoodie hitam melemparkan batu ke arah polisi saat mereka maju dengan meriam air di persimpangan utama di depan markas besar Komisi Uni Eropa.
Menghadapi garis polisi, para pengunjuk rasa berpegangan tangan dan meneriakkan "kebebasan". Seorang pengunjuk rasa membawa plakat bertuliskan "ketika tirani menjadi hukum, pemberontakan menjadi kewajiban".
Selain itu, para pengunjuk rasa juga melemparkan bom asap dan kembang api, lapor surat kabar Le Soir. Kendati demikian, pihak kepolisian menyebut situasi menjadi tenang kemudian.
Belgia memperketat pembatasan virus corona pada Hari Rabu, mengamanatkan penggunaan masker yang lebih luas dan memberlakukan pekerjaan dari rumah, ketika kasus meningkat dalam gelombang COVID-19 keempat negara itu.
Ada 1.581.500 infeksi dan 26.568 kematian terkait virus corona dilaporkan di negara berpenduduk 11,7 juta orang itu sejak pandemi dimulai. Infeksi meningkat lagi, dengan rata-rata 13.826 kasus baru dilaporkan setiap hari.
Kekerasan juga pecah dalam protes anti-pembatasan di tetangga Belgia, Belanda, dalam beberapa hari terakhir. Pada Hari Jumat, polisi di Rotterdam menembaki kerumunan.
Baca juga:
- Kecam Penggunaan Kekuatan Mematikan, PBB Minta Militer Sudan Hentikan Aksi Kekerasan Terhadap Pengunjuk Rasa
- Paksa Buronan Politisi Partai Aung San Suu Kyi Menyerahkan Diri, Polisi Myanmar Sandera Anak Kecil Berusia 13 Tahun
- Eropa Kembali Jadi Epicentrum COVID-19, Presiden Macron Sebut Prancis Tidak Perlu Lockdown
- Presiden Putin Nilai Barat Anggap Enteng Peringatan Batas Garis Merah, Sebut Hubungan dengan AS Tidak Memuaskan
Untuk diketahui, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan sangat khawatir tentang meningkatnya kasus virus corona di Eropa.
Direktur regional WHO Dr Hans Kluge, mengatakan, kecuali tindakan diperketat di seluruh Eropa, setengah juta lebih banyak kematian dapat dicatat pada musim semi berikutnya.
"COVID-19 sekali lagi menjadi penyebab kematian nomor satu di wilayah kami," katanya kepada BBC seperti dikutip 22 November.
"Kami tahu apa yang perlu dilakukan untuk melawan virus, seperti vaksinasi, memakai masker dan surat izin COVID-19," sambungnya.
Banyak pemerintah di seluruh benua memberlakukan pembatasan baru untuk mencoba mengatasi peningkatan infeksi. Sejumlah negara baru-baru ini melaporkan jumlah kasus harian tertinggi.