JAKARTA - Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Ardian Noervianto ditetapkan sebagai tersangka penerima oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penetapan ini berkaitan dengan dugaan suap pengajuan pinjaman dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Daerah tahun 2021.
Tanpa kehadirannya di Gedung Merah Putih KPK, Ardian ditetapkan sebagai tersangka. Dia berdalih sakit sehingga komisi antirasuah menunda penahanannya di rumah tahanan.
"KPK melanjutkan dengan melakukan penyelidikan dan meningkatkan status perkara ini ke tahap penyidikan dan mengumumkan tersangka sebagai berikut, MAN, Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri periode Juli 2020 sampai November 2021," kata Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto dalam konferensi pers yang digelar secara daring, Kamis, 27 Januari.
Selain Ardian, KPK juga menetapkan dua orang lain sebagai tersangka. Mereka adalah Bupati Kolaka Timur nonaktif Andi Merya Nur yang juga sudah sebagai tersangka dugaan penerimaan suap dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Muna Laode M. Syukur Akbar.
Minta kompensasi 3 persen dari pengajuan pinjaman dana PEN Daerah
Karyoto mengungkap dugaan suap terjadi setelah Ardian sebagai Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri meminta kompensasi tiga persen untuk mengawal dan mendukung pinjaman dana PEN Daerah yang diajukan oleh Andi Merya.
Sebagai Dirjen Bina Keuangan Daerah, sambung Karyoto, Ardian memang punya tugas melaksanakan salah satu bentuk investasi pemerintah, yaitu pinjaman dana PEN dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
BACA JUGA:
Adapun pinjaman tersebut diberikan melalui PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) sesuai dengan kebutuhan daerah.
Melihat kondisi ini, Andi Merya sebagai Bupati Kolaka Timur menghubungi Laode M Syukur agar dibantu mendapatkan pinjaman dana PEN untuk daerah yang dipimpinnya. Selanjutnya pada Mei 2021, Andi akhirnya bertemu dengan Ardian dan mengajukan peminjaman sebesar Rp350 miliar.
"(Andi, red) juga meminta tersangka MAN mengawal dan mendukung proses pengajuannya. Kemudian, tindak lanjut atas pertemuan itu, tersangka MAN diduga meminta pemberian kompensasi dengan sejumlah uang yaitu 3 persen secara bertahap dari nilai pengajuan pinjaman," ungkap Karyoto.
Permintaan ini kemudian dipenuhi oleh Andi dengan mengirimkan uang sebesar Rp2 miliar ke rekening bank milik Laode M Syukur. Uang tersebut baru tahapan awal.
"Dari uang Rp2 miliar tersebut diduga dilakukan pembagian di mana tersangka MAN menerima dalam bentuk mata uang dolar Singapura sebesar 131 ribu atau setara Rp1,5 miliar di kediaman pribadinya di Jakarta dan tersangka LMA menerima sebesar Rp500 juta," ujarnya.
Selanjutnya, permohonan pinjaman dana PEN itu disetujui dengan adanya bubuhan paraf Ardian pada draf final surat Menteri Dalam Negeri ke Menteri Keuangan.
"KPK menduga tersangka MAN juga menerima pemberian uang dari beberapa pihak terkait permohonan pinjaman dana PEN dan hal ini akan didalami lebih lanjut oleh tim penyidik," tegas Karyoto.
Atas perbuatannya, Andi disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara Ardian dan Laode M Syukur sebagai penerima suap diduga melanggar 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.