JAKARTA – Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI sontak mendapat sorotan dari publik. Di tengah kekhawatiran kembalinya Dwi Fungsi TNI, DPR RI dan Pemerintah justru mengebut pembahasan revisi UU TNI agar bisa disahkan sebelum Hari Raya Idulfitri mendatang.
Ketua DPR RI, Puan Maharani mengungkapkan, revisi UU TNI sebenarnya hanya terfokus pada tiga pasal, yakni soal kedudukan TNI, perpanjangan usia pensiun, hingga penambahan jabatan sipil yang bisa diisi anggota TNI aktif. Ketiga pasal itu juga sudah dibahas dan mendapat masukan dari masyarakat sehingga tidak ada pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam proses penyusunan RUU tersebut.
“Sudah tidak ada hal yang kemudian melanggar, yang dicurigai akan membuat hal-hal yang ke depannya itu tercederai,” ujarnya, Senin 17 Maret 2025.
BACA JUGA:
Puan memastikan sistem Dwi Fungsi TNI tidak akan bangkit kembali melalui revisi UU TNI seperti yang sudah ditegaskan oleh Panja Komisi I DPR RI dan pemerintah. “Jadi, silakan dilihat hasil panja. Tadi, teman-teman juga sudah mendapatkan hasil dari panja yang akan kami putuskan bersama. Sudah jelas bahkan sudah diberikan revisi tiga pasal yang kemudian menyatakan apa saja yang direvisi. Itu tidak mengubah hal-hal yang kemudian dicurigai itu nanti dalam keputusannya,” imbuhnya.

Ketua Panja RUU TNI, Utut Adianto menambahkan, pihaknya bersama pemerintah memang hanya membahas tiga klaster utama, yakni kedudukan Kementerian Pertahanan dan TNI, lingkup baru tempat TNI boleh tetap aktif, dan soal usia prajurit. Dia menjelaskan, seluruh klaster dalam RUU TNI tersebut dibahas satu per satu, pasal demi pasal secara seksama.
Berdasarkan catatan, setidaknya ada empat pasal krusial dalam RUU TNI yang dinilai kontroversial. Pasal-pasal itu terbagi dalam tiga klaster, mulai dari batas usia pensiun, penempatan TNI di ranah sipil, dan peran TNI di luar operasi militer. Pertama, Pasal 7 ayat 2 terkait operasi non-militer, di mana dalam naskah hasil pembahasan per Sabtu 15 Maret 2025, pemerintah mengusulkan penambahan tugas militer TNI di luar perang. Dalam UU sebelumnya, ada 14 tugas militer TNI di luar perang.
Dalam RUU terbaru, pemerintah mengusulkan tiga tugas baru, yakni TNI memiliki tugas untuk membantu dan menanggulangi ancaman siber, TNI bisa membantu dan menyelamatkan WNI dan kepentingan nasional di luar negeri serta TNI memiliki wewenang untuk membantu menangani masalah penyalahgunaan narkotika.
Kedua, Pasal 47 terkait penempatan TNI di instansi sipil, di mana pemerintah mengusulkan penambahan posisi sipil yang bisa diduduki TNI dari 10 menjadi 16. Ada penambahan peran TNI dalam pengamanan laut (Bakamla), penanganan bencana (BNPB), penanganan terorisme (BNPT), kelautan dan perikanan, Kejaksaan Agung, dan pengelolaan perbatasan (BNPP).
“Prajurit yang menduduki jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas permintaan kementerian/lembaga serta tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan kementerian dan lembaga,” demikian beleid pada Pasal 47 ayat (3). Sementara di luar posisi tersebut, prajurit aktif bisa menduduki jabatan sipil lain setelah mundur dari dinas keprajuritan.
Ketiga, Pasal 53 terkait batas usia pensiun, di mana RUU TNI mengubah batas usia pensiun berdasarkan pangkat. Dalam UU saat ini, batas usia pensiun dibagi menjadi dua klaster, yakni 58 bagi perwira dan 53 bagi tamtama dan bintara. Sementara, dalam RUU TNI berdasarkan naskah per 15 Maret, batas usia pensiun dirinci kembali berdasarkan pangkat dengan ketentuan sebagai berikut.
Bintara dan Tamtama paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun; perwira sampai dengan pangkat Kolonel paling tinggi 58 (lima puluh delapan) tahun; perwira tinggi bintang 1 (satu) paling tinggi 60 (enam puluh) tahun; perwira tinggi bintang 2 (dua) paling tinggi 61 (enam puluh satu) tahun; dan perwira tinggi bintang 3 (tiga) paling tinggi 62 (enam puluh dua).
Di luar itu, ada beberapa pengecualian lain terkait usia dinas. Pertama, khusus bagi prajurit yang menduduki jabatan fungsional dapat melaksanakan masa dinas keprajuritan yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Kemudian, untuk perwira tinggi bintang 4 (empat) atau jenderal, batas usia pensiun paling tinggi, yakni umur 63 tahun dan dapat diperpanjang maksimal dua kali sesuai kebutuhan dan ditetapkan dengan keputusan Presiden.
Anggota Panja RUU TNI, TB Hasanuddin menyebut bila jumlah kementerian dan lembaga yang dapat diisi oleh TNI kembali bertambah dari semula 15 menjadi 16 lembaga. Ke-16 lembaga atau kementerian yang bisa ditempat oleh TNI aktif adalah sebagai berikut.
1. Kantor Bidang Polkam
2. Pertahanan Negara
3. Sekretaris Militer Presiden
4. Intelijen Negara
5. Sandi Negara
6. Lemhannas
7. Dewan Pertahanan Nasional
8. SAR Nasional
9. Narkotika Nasional
10. Mahkamah Agung
11. BNPB
12. BNPT
13. Keamanan Laut
14. Kejagung
15. Kelautan dan Perikanan
16. Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).
Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin juga mengakui ada empat poin pokok objek perubahan RUU TNI yang telah diserahkan pemerintah kepada DPR. Pertama, penguatan dan modernisasi alutsista. Kedua, memperjelas batasan penempatan TNI dalam tugas nonmiliter di lembaga sipil. Ketiga, peningkatan kesejahteraan prajurit. Terakhir, mengatur batas usia pensiun TNI. “Tapi revisi hanya akan menyasar tiga pasal. Masing-masing Pasal 3 soal kedudukan TNI, Pasal 47 terkait penempatan TNI di institusi sipil, dan Pasal 53 terkait masa pensiun,” tuturnya.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unpad, Susi Harijanti menilai, pembahasan revisi UU TNI merupakan bentuk abusive law making atau praktik autocratic legalism. Menurutnya, praktik penyusunan UU seperti itu harus dilawan karena pada dasarnya konstitusi mengatur kedaulatan ada di tangan rakyat, bukan politikus.

Dia menjelaskan, ada beberapa alasan utama revisi UU TNI harus ditolak. Pertama, prosedur penyusunan dan pembahasan RUU TNI tidak menunjukkan democratic law making, tapi sebaliknya abusive law making. Penyusunan RUU TNI ini absen asas keperluan atau kebutuhan, hanya mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu.
Kedua, konsideran RUU TNI sebagaimana tertuang dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) yang disodorkan pemerintah menyebut TNI dibangun dan dikembangkan secara profesional sesuai kepentingan politik negara mengacu pada demokrasi, supremasi sipil, HAM, hukum nasional dan internasional. Tapi faktanya, berbagai prinsip itu tidak ada dalam batang tubuh RUU TNI.
Contohnya, Pasal 7 RUU TNI mengatur tugas perbantuan yang dapat dilakukan TNI, seperti operasi militer selain perang (OMSP) dijalankan atas dasar kebijakan dan keputusan politik negara, diatur lebih lanjut lewat Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres).
“Pertanyaan hukumnya, apakah tepat PP mengatur politik hukum dan dinyatakan sebagai keputusan politik negara? Sejauh mana tugas perbantuan itu tidak mengganggu fungsi lembaga lain dan bagaimana cara mengontrolnya? Apa yang terjadi di Aceh dan Papua? Semua dibungkus tugas perbantuan. Tugas perbantuan TNI ini punya potensi merusak sendi-sendi bernegara dan pemerintahan,” tukas Susi.
Dia menegaskan, dari sisi hukum tata negara, pengaturan OMSP melalui PP dan Perpres memunculkan ketidakpastian. Sebab, RUU TNI memberi diskresi luar biasa kepada pemerintah atau presiden untuk mengatur dasar hukum tapi bukan berdasarkan kepentingan rakyat.
Pasal 47 RUU TNI dalam hal militer menduduki jabatan sipil juga dianggap tidak mencerminkan supremasi sipil seperti yang disebut konsideran menimbang. Pasal 53 yang menaikan batas usia pensiun tidak jelas alasannya. Bahkan untuk perwira bintang 4 batas usia pensiunnya berdasarkan kebijakan Presiden, dan perwira pada jabatan fungsional bisa sampai usia 65 tahun. “Kenapa perwira bintang 4 pensiun berdasarkan kebijakan Presiden? Persamaan dan kepastian hukumnya di mana?” tambah Susi.