JAKARTA - Perang sarung adalah salah satu tradisi yang cukup populer di Indonesia khususnya di bulan Ramadan, dan kerap dilakukan oleh anak laki-laki dan remaja dengan menggunakan sarung yang biasanya dikenakan untuk beribadah beralih menjadi senjata dalam pertarungan. Tradisi ini biasanya dilakukan setelah salat tarawih atau salat subuh.
Berbicara asal usul perang sarung ini justru tidak dapat dipastikan dari mana sumbernya, namun ada beberapa teori yang berkaitan dengan hal tersebut. Perang sarung dipercaya berakar dari tradisi masyarakat muslim di Indonesia, khususnya di daerah pesisir atau pedalaman yang kental dengan pengaruh budaya Arab dan Islam.
Ada yang menganggap bahwa perang sarung sebagai bentuk permainan tradisional yang berkembang sebagai bagian dari kebudayaan lokal. Ada pula yang menilai perang sarung merupakan kesenangan semata.
BACA JUGA:
Namun, seiring berjalannya waktu, justru perang sarung kini bukan lagi suatu hiburan malah menimbulkan korban jiwa. Karena sarung yang dikenakan bisa dianggap sebagai senjata sebab adanya benda yang dalam melukai orang.
Banyak di berbagai media memberitakan terkait kasus tawuran perang sarung yang diamankan oleh Kepolisian hingga menimbulkan korban jiwa. Baru-baru ini terjadi di Kabupaten Kuningan, seorang pelajar kelas 2 SMP Negeri Cigugur, Muhammad Hilman Herdian tewas, ditemukan sekitaran tempat pemakaman umum (TPU), Kamis, 6 Maret.
Menurut Kepolisian di sana, kematian Hilman diduga usai mengikuti perang sarung pada dini hari. Psikolog dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) turut menyoroti fenomena perang sarung yang terjadi.
KPAI Soroti Perang Sarung: Orang Tua Harus Tetap Aware
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat pada 2024, jumlah kasus anak korban kejahatan sebanyak 37 orang termasuk di dalamnya menjadi korban perang sarung. “Tahun 2024, ada sekitar 37 anak korban kejahatan jalanan yang melapor ke KPAI. Sudah termasuk anak korban tawuran dan perang sarung,” ujar Anggota KPAI Diyah Puspitarini kepada Insight, Rabu, 12 Maret.

Dengan angka tersebut, Diyah mengimbau kepada para orang tua agar tetap memperketat pengawasan terhadap anak-anaknya terutama di malam hari. Apalagi kini, teknologi sudah semakin canggih, tentu mempermudah untuk memantau anak-anak.
“Orang tua harus tetap aware dengan aktivitas anak terutama di malam hari. Orang tua harus memastikan anak bermain dengan siapa, ke mana, sebab dengan kemudahan teknologi saat ini kadang anak sangat mudah untuk tetap terhubung dan kemudian melakukan pertemuan tanpa sepengetahuan orang tua,” lanjutnya.
Sebisa mungkin, orang tua harus berupaya memberikan rasa aman dan nyaman kepada anak di dalam rumah. Selain orang tua, lanjut Diyah, masyarakat bersama aparat keamanan harus terlibat melakukan patroli terutama di jam-jam rawan. “Pastikan juga orangtua menghadirkan kenyamanan di rumah sehingga anak akan lebih merasa nyaman di rumah daripada di luar,” saran Diyah.
Psikolog: Orang Tua Jangan Pernah Remehkan Anak Main Perang Sarung
Sementara dari sisi pendapat psikolog anak dan remaja, Novita Tandry menilai jika perang sarung kini tak lagi sama seperti dahulu yang hanya sekadar hiburan selama bulan Ramadan. Malah menjadi ajang tawuran yang dapat menimbulkan korban jiwa.
“Jadi kalau berbicara perang sarung, ini permainan tradisional yang identik dengan keseruan (selama) Ramadan. Tapi kalau kita perhatikan belakangan ini, jadi ajang tawuran yang terselubung dan akhirnya berujung kepada kekerasan fisik. Bahkan kita lihat, ada korban jiwa,” ujarnya.
Menurut dia, peran orang tua sangat penting sekali sebagai pendidik utama bagi anak dalam mengawasi. Supaya anak-anak tidak terjebak dalam sisi negatif perang sarung.

“Jadi mungkin yang pertama, yang harus dipegang oleh orang tua adalah dengan tidak menganggap remeh. Karena terkadang saya perhatikan, orang tua itu menganggap remeh “wah perang sarung doang,”. Permainan ini biasa. Zaman waktu saya kecil enggak ada dampak yang serius,” ungkap Novita.
“Tetapi kalau kita perhatikan dalam beberapa kasus, anak-anak ini sudah memasukkan unsur-unsur kekerasan. Menyelipkan batu misalnya atau benda keras ke dalam sarung untuk melukai lawannya. Jadi, orang itu harus tahu, ini bukan sekadar tradisi lagi tapi bisa berkembang menjadi aksi berbahaya kalau tentunya tidak dikontrol oleh orang tua,” sambungnya.
Mencegah agar tidak terjadi korban jiwa, Novita menyarankan kepada orang tua agar terus menjalin komunikasi dengan baik kepada anaknya. Sebab, ini menjadi hal yang penting.
“Harus ada komunikasi dengan anak. Orang tua harus kasih tahu konsekuensi atau risiko luka, bahkan batu atau benda keras itu mengenai yang vital bahkan menghilangkan nyawa seseorang. Kalau sampai ada balas dendam karena salah satu temannya ada yang luka atau meninggal ini bisa ada dendam. Apalagi bulan Ramadan, bulan yang suci harus diisi dengan kegiatan positif bukan aksi yang merugikan diri sendiri atau orang lain,” sarannya.
Langkah berikutnya, orang tua diminta mengambil tindakan tegas untuk membatasi kegiatan anak. “Harus ada batasan yang jelas. Jadi dikasih tahu bahwa batasannya apa saja. Sebaiknya ada orang dewasa yang bisa mengawasi. Jadi perang sarung ini ada batasan yang wajar. Kesadaran akan kekerasan itu sendiri bahwa perang sarung itu bisa yang awalnya bercanda tetapi buntut-buntutnya bisa berujung emosi dan dendam,” ujar Novita.
Kemudian, Novita menyarankan lagi kepada para orang tua untuk mengajarkan anak mengontrol emosi. Langkah terakhir yakni lingkungan sekolah. Terutama bagi para guru yang berperan sebagai pengganti orang tua harus berani mengambil tindakan tegas.
“Tiap sekolah ini penting sekali untuk bisa berperan. Bahwa semua permainan dengan indikasi mengarah kepada kekerasan, di sekolah tidak menolerir. Jadi harus sanksi yang keras. Tentunya warga atau masyarakat di mana anak tumbuh hidup dan berkembang harus ada kolaborasi untuk preverentif atau pencegahannya dengan kegiatan di bulan Ramadan yang jauh lebih positif,” pungkasnya.