JAKARTA – Presiden terpilih, Prabowo Subianto disebut-sebut akan bertemu dengan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri. Elite-elite Partai Gerindra dan PDIP bahkan menyebut pertemuan kedua tokoh itu akan terjadi sebelum pelantikan Prabowo sebagai presiden 20 Oktober mendatang.
Bila Prabowo dan Megawati pada akhirnya benar-benar bertemu, lantas bagaimana nasib Joko Widodo usai lengser dari kursi presiden? Pertanyaan itu menjadi hal yang wajar mengingat hubungan Jokowi dan Megawati tidak baik-baik saja usai gelaran Pilpres 2024.
Menurut Direktur Eksekutif Kajian Politik Nasional (KPN), Adib Miftahul, rencana pertemuan Prabowo dan Megawati sebenarnya bukan hal yang mengejutkan. Terlebih, keduanya pernah berada dalam satu barisan saat Pilpres 2009 hingga Pilkada DKI Jakarta 2012 silam.
“Secara historis, hubungan Pak Prabowo dan Bu Mega sudah terjalin lama. Apalagi politik kita ini kan kental nuansa pragmatis cenderung transaksional. Jadi tidak terlalu mengejutkan bila keduanya bertemu,” ujarnya, Senin 7 Oktober 2024.
BACA JUGA:
Selain itu, saat kampanye Pilpres 2024, Prabowo seringkali menyatakan bakal merangkul lawannya jika menang. Di Rapimnas Gerindra yang digelar baru-baru ini, Prabowo pun kembali menyinggung menyinggung hal tersebut.
Karena itu, Adib melihat bahwa pertemuan Prabowo dan Megawati merupakan upaya merangkul PDIP dalam pemerintahan mendatang. “Jauh sebelum Pilpres Februari, saat kampanye dia bilang yang kalah tetap dia rangkul, jadi ini sesuatu yang tidak tiba-tiba. Tipikal Prabowo begitu atas nama rekonsiliasi politik nasional yang kalah juga dirangkul,” imbuhnya.
Apalagi, posisi PDIP sebagai parpol pemenang pemilu legislatif membuat Prabowo tentu melihat pentingnya merangkul PDIP untuk menciptakan situasi politik yang normal dan stabil selama pemerintahan lima tahun ke depan.
Pengamat politik Unpad, Kunto Adi Wibowo menilai, pertemuan Prabowo dan Megawati bisa saja dilandasi kepentingan yang sama terkait dengan posisi Jokowi. Megawati mungkin saja ingin memastikan Jokowi tidak memiliki kekuatan berlebihan di masa Prabowo nanti. Di sisi lain, sebagai presiden lima tahun mendatang, Prabowo bisa saja enggan dikooptasi oleh Jokowi.
“Karena kepentingan yang sama, kira-kira gitu lah makanya ini pertemuan bisa terwujud dan kita lihat saja akan berujung pada koalisi yang besar dan pemerintahan Pak Prabowo tidak punya oposisi,” imbuhnya.
Dengan situasi seperti itu, Kunto melihat sangat mungkin PDIP bergabung ke pemerintahan Prabowo-Gibran. Terlebih, Megawati dan PDIP hanya bermasalah dengan Jokowi, bukan dengan Prabowo dan Gerindra.
“Problemnya karena di situ (saat ini) ada Pak Jokowi. Tapi kan setelah 20 Oktober kita enggak tahu nasib Pak Jokowi,” ungkap Kunto.
Masa Depan Politik Trah Jokowi
Pertemuan Prabowo dan Jokowi disebut juga akan berpengaruh terhadap masa depan Trah Jokowi di kancah politik tanah air. Seperti diketahui, putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka merupakan wakil presiden terpilih mendampingi Prabowo, putra bungsunya, Kaesang Pangarep saat ini menjadi Ketua Umum PSI, dan menantu Jokowi, Bobby Nasution akan berlaga di Pilgub Sumatera Utara 2024.
Lengsernya Jokowi dari kursi presiden dinilai akan menggoyahkan masa depan politik trah mantan Gubernur DKI Jakarta itu. Apalagi, Gibran dan Kaesang kerap kali juga menjadi sorotan karena sikap dan tindakan mereka yang dinilai belum mencerminkan etika politik yang baik. Baru-baru ini misalnya, Gibran diduga merupakan sosok di balik akun Fufufafa yang sampai sekarang masih menimbulkan kontroversi.
Postingan lama akun tersebut diketahui menghina Prabowo dengan kata-kata yang kurang pantas seperti cerai dan stroke, serta menyebut anak Prabowo dengan komentar yang bernada homofobik. Belum adanya bantahan disertai bukti secara lugas terkait akun Fufufafa tersebut, ditambah situasi di mana Gibran sekarang harus bekerja sama dengan Prabowo, hubungan keduanya tentu akan sangat menarik untuk diperhatikan.
“Bagaimana mungkin Gibran bisa menjadi mitra yang baik bagi Prabowo, ketika dia pernah menghina secara terang-terangan di masa lalu? Politik memang penuh dinamika, tapi jejak digital sulit dihapus. Publik pun tentu bertanya-tanya, bagaimana Prabowo akan memperlakukan Gibran setelah mereka resmi dilantik nanti,” tutur Sosiolog UGM, Arie Sujito.
Sementara Kaesang, juga tengah dihantam dalam skandal hidup hedonis di saat ekonomi warga bangsa tengah sakit. Bersama istrinya, Erina Gudono, Kaesang diketahui berlibur ke Amerika Serikat menggunakan jet pribadi mewah. Pesawat tersebut diketahui milik Sea Group, perusahaan induk Shopee, yang memiliki hubungan bisnis dengan Kaesang dan Gibran.
Hal-hal inilah yang membuat masa depan politik kedua putra Jokowi itu menjadi tanya besar usai sang bapak lengser dari tampuk kekuasaan. Apakah mereka bisa bertahan tanpa dukungan langsung dari Jokowi? Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya berpendapat, Gibran maupun Kaesang masih harus membuktikan kemampuan mereka tanpa bergantung pada pengaruh Jokowi.
“Gibran dan Kaesang sejauh ini masih menunggangi nama besar Jokowi. Tantangan terbesar mereka adalah membuktikan bahwa mereka bisa mandiri. Langkah mereka di kancah politik saat ini sangat dipengaruhi status mereka sebagai putra presiden. Karena itu, kita baru bisa menilai mereka secara objektif setelah Jokowi benar-benar tidak lagi berkuasa,” terangnya.
Direktur Eksekutif IPO, Dedi Kurnia Syah turut menyoroti kiprah menantu Jokowi, Bobby Nasution. Menurutnya, masa depan politik Bobby Nasution juga layak untuk dipertanyakan. Pasalnya, suami Kahiyang itu dianggap berhasil meraih jabatan Wali Kota Medan berkat nama besar sang mertua. “Bobby punya tantangan serupa dengan Gibran dan Kaesang. Setelah Jokowi tak lagi berkuasa, Bobby harus menunjukkan bahwa dia layak berada di posisi ini, bukan hanya karena dia menantu presiden,” imbuhnya.
Dedi menyatakan, usai Jokowi lengser dari kursi presiden, Gibran, Kaesang, dan Bobby akan menghadapi dunia politik yang jauh lebih keras dan tanpa “pelindung” utama mereka. Gibran harus membuktikan mampu bekerja sama dengan Prabowo, meskipun hubungan mereka di masa lalu diwarnai dengan hinaan.
Kaesang, sebagai Ketua Umum PSI, dituntut membuktikan bisa memimpin partai tanpa hanya mengandalkan popularitas nama Jokowi. Demikian pula Bobby yang harus bisa merangkul dukungan publik menghadapi Pilgub Sumut.
“Politik Indonesia bukan arena yang mudah. Trah Jokowi akan diuji secara serius setelah Jokowi tidak lagi memegang kekuasaan. Ini adalah momen penting bagi mereka untuk menunjukkan bahwa mereka bisa berdiri di atas kaki sendiri,” kata Dedi.
Direktur Parameter PPI, Adi Prayitno memprediksi Jokowi akan kehilangan kekuatannya usai lengser sebagai presiden. Tapi, Jokowi bisa saja memiliki peluang untuk mempertahankan kekuatan politiknya melalui Gibran yang akan dilantik menjadi wakil presiden. “Apapun judulnya Gibran adalah wapres terpilih meski pada saat bersamaan publik tahu wapres itu posisinya sebatas ‘ban serep’. Tapi peluang tancapkan powernya lewat Gibran meski terbuka,” ungkapnya.
Dia menegaskan, Jokowi bisa meneruskan kekuatan politiknya melalui Gibran hanya dengan satu syarat, yakni mantan Wali Kota Surakarta itu harus memiliki atau menjadi bagian partai besar. “Catatannya Gibran harus punya backing partai besar atau menjadi bagian dari partai besar, tanpa itu, sulit tancapkan kekuatan politiknya. Yang powerful tetaplah presiden,” tambah Adi.