Bagikan:

JAKARTA – Posisi ketua umum sebuah partai politik (parpol), terlebih sebuah parpol besar juga menjadi daya tarik para politisi di tanah air. Mereka nyaris seperti para raja dan memiliki langkah taktis tersembunyi di pesta demokrasi yang digelar setiap lima tahun.

Kekuasaan memang bak candu yang membuat orang terus ingin menikmatinya. Meski bukan penganut sistem monarki, faktanya di Indonesia pernah mengalami era Orde Baru di bawah Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun.

Daya Tarik

Seiring tumbangnya Orde Baru, Indonesia memasuki era reformasi di mana masa jabatan presiden dibatasi selama dua periode atau sepuluh tahun melalui amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Tapi, lingkar kekuasaan di Indonesia tidak sebatas menjadi presiden. Posisi ketua umum sebuah partai politik (parpol), terlebih sebuah parpol besar juga menjadi daya tarik para politisi di tanah air.

Dengan sistem pemilihan presiden (pilpres) di Indonesia yang belum membuka pintu bagi calon independen, posisi sebagai ketua umum sebuah parpol tentu menjadi magnet tersendiri. Sebutan sebagai king maker yang sering dinilai bisa ikut menentukan arah dan strategi pemerintah, membuat kursi ketua umum parpol menjadi rebutan.

Contohnya, sosok Megawati Soekarnoputri yang sudah menduduki kursi ketua umum PDI Perjuangan sejak 1999 atau memasuki tahun ke-24 era kepemimpinannya. Trah Soekarno menjadi salah satu alasan Megawati terus dipercaya memimpin parpol pemenang pemilu 2014 dan 2019 itu.

Di saat era Megawati belum berakhir, penerusnya di PDI Perjuangan pun sudah digadang-gadang. Lagi-lagi, tak jauh dari trah Soekarno. Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya memprediksi bahwa regenerasi di tubuh PDI Perjuangan kelak tak akan jauh dari trah Soekarno. Menurut dia, setelah nantinya tak menjabat, Megawati akan melimpahkan kursi kepemimpinan ke putra atau putrinya.

“Kalau saya melihat tetap trah Bung Karno atau darah biru ini memiliki peluang yang jauh lebih besar ketika berbicara mengenai posisi ketua umum atau faktor pengikat di internal,” ujarnya.

Menurut Yunarto, ideologi politik PDI Perjuangan sejak dulu selalu berkiblat pada figur Soekarno. Dengan demikian, kecil kemungkinan posisi nomor satu partai akan diserahkan pada figur di luar garis keturunan presiden pertama RI itu. Dia menilai, PDI Perjuangan hanya akan membuka pintu bagi sosok di luar trah Soekarno dalam urusan capres, contohnya dengan penunjukan Joko Widodo.

Dia melihat, penunjukan Puan Maharani dalam mengemban sejumlah tugas kepartaian, legislatif, dan eksekutif merupakan cara Megawati menyiapkan putrinya tersebut sebagai penggantinya nanti.

“Karena kita tahu partai ini masih sentralistik pada sosok Bu Mega yang sudah puluhan tahun menjadi faktor pengikat,” ungkap Yunarto.

Dinasti Politik

Tidak hanya di PDI Perjuangan, Partai Demokrat pun sudah menjalankan praktik serupa. Susilo Bambang Yudhoyono yang pernah menjabat sebagai presiden periode 2004-2009 dan 2009-2014 seolah tak ingin kehilangan kekuasaan. Dimulai dengan kegagalan menjadikan Andi Mallarangeng sebagai ketua umum dalam Kongres Partai Demokrat 2010 oleh Anas Urbaningrum, membuat SBY dinilai melakukan segala cara untuk melanggengkan kekuasaannya.

Diwarnai drama kriminalisasi, Anas pun tergusur dari kursi ketua umum pada Kongres Luar Biasa Partai Demokrat tahun 2013 di Bali, dan digantikan oleh SBY. Loyalis Anas, Gede Pasek Suardika menilai, Anas merupakan korban dari politik rezim yang berniat menyingkirkannya dari kursi ketua umum.

Dia menjelaskan, salah satu indikasinya adalah bocornya sprindik kasus Hambalang, dimana rangkaian peristiwanya terjadi begitu cepat dan terstruktur. “Peristiwa tanggal 4, kemudian tanggal 7 Pak Syarif Hasan bilang sudah jadi tersangka, sprindik sudah ada. Tanggal 8 kemudian tanggal 9 lalu tanggal 17 ini

adalah rangkaian bagaimana AU disingkirkan.

Selain itu, baik Demokrat maupun Komisi Pemberantasan Korupsi tidak mengeluarkan bantahan terhadap peristiwa tersebut. Karena itu, dia menilai kuat dugaan kasus Hambalang merupakan bentuk kriminalisasi. Indikasi lain adalah Anas Urbaningrum dinyatakan dalam putusan Peninjauan Kembali (PK) tidak terkait dengan perkara di Hambalang. Melainkan, dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi lain.

Setelah Anas Urbaningrum mendekam dalam jeruji besi, jalan SBY “menguasai” Demokrat seolah kian mulus. Mantan Menkopolkam era Presiden Megawati ini kembali terpilih menjadi ketua umum padakongres tahun 2015 di Surabaya. Belum cukup, SBY mewariskan kursi ketua umum Demokrat pada putra sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono di kongres tahun 2020 di Jakarta.

Langkah Taktis Sang Raja

Terpilihnya AHY sebagai ketua umum Demokrat menimbulkan ketidakpuasan di internal. Tahun 2021, beberapa kader senior partai seperti Hengky Luntungan, dan Johnny Allen menuntut digelarnya KLB karena menolak upaya menjadikan Demokrat sebagai partai keluarga.

Lantas bagaimana dengan Jokowi? Meski memiliki massa dan dukungan masif, tetap saja mantan Gubernur DKI Jakarta itu “tidak memiliki” partai. Meski masih tercatat sebagai kader PDI Perjuangan, peluang Jokowi untuk menggantikan Megawati bisa dibilang mustahil.

Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Solo, FX Hadi Rudyatmo menyebut calon ketua umum yang cocok adalah yang memiliki ideologi dan masih trah Soekarno. Sosok yang dikenal dekat dengan Megawati dan Jokowi ini menepis anggapan isu Jokowi menjadi penerus Megawati yang pernah berembus.

“Ketua umum tentu yang punya ideologi, kalau saya ya tetap trah Soekarno. Ada Mbak Puan, Mas Prananda, Mas Rizki Pratama, ada Mbak Puti, jadi enggak ada isu Jokowi jadi Ketum PDIP,” tukasnya. Rudy menegaskan, isu yang menggaungkan Jokowi sebagai pengganti Megawati berpotensi mengadu domba dan memecah belah partai.

Dia kembali mengingatkan terkait ideologi kepada para kader partai, terutama mengenai prinsip, sikap, komitmen dan perjuangan.

Jokowi Meminta Menterinya Dukung Prabowo Pernyataan Rudy bukan tanpa alasan, hal ini bisa dilihat dari gelar acara para relawan Jokowi di Senayan beberapa waktu lalu dan gerakan relawan Gibran yang bertemu Prabowo seminggu setelah deklarasi calon presiden dari PDIP di tanggal 21 April, kemarin. Jokowi seakan menegaskan dirinya ingin meninggalkan Ganjar Pranowo dan mulai meletakkan mesin politiknya di Prabowo Soebianto sekaligus Partai Gerindra.

"Dan jika kerja keras dan didongkrak terus Partai Gerindra potensial menjadi yang teratas. Dan elektabilitas Pak Prabowo juga potensial menjadi yang tertinggi" kata Jokowi di acara ulang tahun partai berlambangkan burung garuda yang ke-15. Jokowi juga menegaskan akan cawe-cawe dalam konstestasi pemilihan presiden mendatang.

Dukungan dan pujian yang dilakukan Jokowi ke gerindra bisa dilihat nyata akan dukungan 2 partai politik kepada gerindra. Yah, Dukungan terhadap Prabowo Subianto sebagai bakal calon presiden (capres) 2024 didapat dari Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang tadinya bergabung di Koalisi Indonesia Bersatu berubah menjadi Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya dideklarasikan di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jakarta, 13 Agustus.

Prabowo dengan secara terbuka menyebutkan dengan dukungan tambahan dari 2 partai politik itu merupakan tim Jokowi. Arti dari peryataan Prabowo mengisyaratkan ke empat partai itu berjanji akan meneruskan program kerja yang telah dirintis oleh Presiden Jokowi.

Gerak dan dukungan kepada Gerindra yang semakin menguat seakan menohok partai berlambangkan banteng moncong putih. Terlihat tidak adanya ketegasan dari DPP PDI Perjuangan dalam menjawab isu yang menyebut bergabungnya Partai Golkar dan PAN ke kubu Prabowo Subianto adalah atas arahan Presiden Joko Widodo.

Ketua relawan Ganjar Pranowo, yang juga Wakil Ketua MPR, Ahmad Basarah meminta pertanyaan itu dialihkan kepada Jokowi dan ke masing-masing ketua umum.

“Kalau itu tanya sama Pak Jokowi, tanya sama Ketua Umum PAN, Ketua Umum partai Golkar,” ujar Ketua DPP PDIP, Ahmad Basarah, di DPR RI, Senayan, Jakarta, 14 Agustus.

Basarah menambahkan partainya biasa menghadapi hal seperti ini dan bisa dibuktikan dengan menjadi pemenang kontestasi dalam dua periode kemarin.

"Bagi PDIP, hal-hal yang biasa kita hadapi, kita biasa bekerja bersama-sama, tapi kita juga biasa bekerja dengan teman yang tidak begitu banyak toh. Di Pemilu 2014, PDIP hanya berkoalisi dengan PKB, Nasdem, Hanura, dan PKPI, namun berhasil memenangkan kontestasi. Pada saat itu, koalisi rival JokowiJK, yaitu Prabowo-Hatta yang didominasi oleh partai-partai besar, mengalami kekalahan,” kata Ahmad Basarah.

Kontrol Jokowi

Pengamat politik Rocky Gerung menyebutkan bergabungnya 2 parpol ke Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya itu menegaskan dukungan Jokowi dan para menterinya kepada Prabowo Soebianto.

"Jokowi ini memang perlu untuk segera menunjukkan sikap politiknya tidak perlu tolah-toleh lagi dan biarkan sejarah yang merapikan pernyataan cawe-cawenya Jokowi. Pak Jokowi boleh melakukan manuver-manuver tapi pada akhirnya keputusan yang dia buat harus mempertimbangkan tekanan dari publik yang ingin mengetahui arah dan sikapnya. Sebab jika terlalu lama maka orang-orang yang tadinya mendukung Jokowi bisa bersatu untuk melawan dia," kata Rocky Gerung.

Rocky menyebutkan semua dukungan kepada Prabowo Soebianto ada di bawah kontrol Jokowi. Ini sangat perlu dilakukan Jokowi sekaligus menegaskan dirinya resmi meninggalkan Megawati.

Berdasarkan itu Rocky menyarankan kepada PDIP untuk segera menarik Ganjar Pranowo sebagai calon presiden dan digantikan langsung dengan Puan Maharani.

"Jika ini dilakukan PDIP maka bisa dipastikan ada permainan baru. Misalkan PDIP ikut ke blok Anies sehingga terlihat hanya dua blok saat kontestasi berlangsung. Tapi jika PDIP memilih Anies ada dua yang perlu diselesaikan. Pertama hubungan antara SBY dan bu Megawati, hubungan antara Surya Paloh dengan Ibu Mega dan kedua apa yang akan diberikan PDIP kepada Anies. Untuk Gerindra sudah jelas arahnya, yang belum jelas itu koalisi di luar gerindra," kata Rocky.

"Ada satu hal lagi yang mungkin bisa ditawarkan PDIP kepada Anies yakni menawarkan Gibran menjadi calon wakil presiden, agar posisi Pak Jokowi lebih aman ke depannya dia letakkan mesin politik di gerindra dan Gibran di Anies atas persetujuan PDIP," tandasnya.

Sumber VOI di lingkaran pertama Jokowi menjelaskan politik itu penuh dengan simbol. Salah satunya pertemuan antara Presiden Jokowi dengan Ganjar Pranowo dan Prabowo Soebianto di daerah Kebumen Jawa Tengah merupakan signal kuat.

"Simbolnya itu silakan dilihat dari baju yang dikenakan ketiganya. Pak Jokowi dan Pak Prabowo menggunakan kemeja warna putih dan Ganjar mengenakan baju kerja sebagai Gubernur Jawa Tengah. Baju putih simbol dari ketulusan berpikir dan niat yang baik untuk membangun Indonesia, sementara Ganjar menunjukkan anak muda yang siap bekerja keras," kata sumber tersebut.

Dia menambahkan tidak menutup kemungkinan jika nanti Prabowo jadi Presiden dan PDIP menurunkan gengsinya dengan mengijinkan Ganjar Pranowo sebagai wakil presidennya Prabowo.

"Langkah taktisnya bisa saja terjadi Prabowo capres dan Ganjar sebagai wapresnya. Selain itu tidak ada masalah antara Ibu Megawati dengan Pak Prabowo. Keduanya sangat dekat dan Pak Jokowi juga harus mempertimbangkan keluarganya yang ada di PDIP," tutupnya