JAKARTA – Perhelatan Piala Dunia U-20 Tahun 2023 lalu yang dijadwalkan berlangsung di Indonesia dibatalkan Federasi Sepak Bola Dunia atau FIFA. Meski tak mengungkap penyebabnya, salah satu dugaan yang mencuat adalah munculnya penolakan terhadap keikutsertaan Timnas Israel oleh Gubernur Jawa Tengah saat itu, Ganjar Pranowo.
Ya, meski dianggap bisa mendatangkan keuntungan baik dari segi ekonomi maupun olahraga, Ganjar dengan tegas menolak kehadiran Israel di wilayah yang dipimpinnya. Penyebabnya tak lain adalah agresi yang dilakukan Israel ke Palestina yang bahkan masih terus berlangsung hingga saat ini.
Ganjar menegaskan, penolakan tersebut merupakan salah satu wujud dari upaya bersama untuk mendukung kemerdekaan Palestina sesuai amanat Presiden RI pertama, Soekarno. “Kita sudah tahu bagaimana komitmen Bung Karno terhadap Palestina, baik yang disuarakan dalam Konferensi Asia Afrika, Gerakan Non Blok, dan maupun dalam Conference of the New Emerging Forces. Jadi ya kita ikut amanat beliau,” terangnya, Kamis 23 Maret 2023 silam.
Selain itu, penolakan terhadap Israel diputuskan setelah Ganjar terus mengamati aksi-aksi kekerasan yang cenderung meningkat di Palestina. Terlebih dengan kemunculan kelompok politik dalam pemerintahan Israel yang menolak mengakui keberadaan bangsa dan negara Palestina merdeka. “Karenanya, penting bagi kita untuk tetap menyuarakan dukungan kita kepada perjuangan Palestina merdeka,” imbuhnya.
Kegagalan menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 membuat Presiden Joko Widodo sempat angkat bicara. Dia menilai, tidak seharusnya urusan politik dicampur aduk dengan olahraga. “Ini negara demokrasi. Yang paling penting jangan dicampuradukkan. Saya sudah sampaikan kan, jangan dicampur aduk. Ada wilayah politik, ada wilayah olahraga,” kata Jokowi.
Mungkin pernyataan Presiden Jokowi itu ada benarnya, meski terkesan ahistoris. Pasalnya, sudah banyak contoh dimana urusan politik memengaruhi olahraga maupun sebaliknya. Bahkan, FIFA sendiri sudah mencampuradukkan politik dan sepak bola. Dalam hal ini adalah respon terhadap invasi yang dilakukan Rusia ke Ukraina.
BACA JUGA:
Timnas Rusia menjadi korban FIFA akibat keputusan politik Presiden Vladimir Putin. Saat Rusia menginvasi Ukraina, FIFA bersama Asosiasi sepakbola Eropa (UEFA) melarang Timnas Rusia melakoni laga playoff Piala Dunia 2022. Akibatnya, Artem Dzyuba dkk harus mengubur mimpi untuk tampil di Qatar.
Kembali ke Israel, setidaknya ketegasan Ganjar Pranowo menolak partisipasi negara Zionis itu menunjukkan tidak ada standar ganda dari politisi PDI Perjuangan tersebut dalam menyikapi kebijakan politik Israel dan Rusia.
Hal ini berbeda dengan sikap yang diambil FIFA, yang terkesan diam saat Israel melakukan agresi ke wilayah Palestina. Hal tersebut membuat munculnya tudingan bahwa lembaga pimpinan Gianni Infantino itu telah menerapkan standar ganda soal Israel.
Terbaru, FIFA telah menunda keputusan atas proposal Palestina untuk menangguhkan partisipasi Israel dari sepak bola internasional terkait genosida di Jalur Gaza yang menewaskan banyak pemain sepak bola. Keputusan ini jelas kontras dengan sikap FIFA pada 2022 yang segera melarang Timnas Rusia bertanding usai invasi ke Ukraina.
Keputusan FIFA membuka jalan bagi Timnas Israel tetap berlaga di cabang olahraga sepak bola Olimpiade Paris yang tengah berlangsung saat ini. Padahal, Asosiasi Sepak Bola Palestina (PFA) telah mengajukan proposal untuk menangguhkan partisipasi Israel pada bulan Mei, dan FIFA memerintahkan evaluasi hukum yang mendesak, serta berjanji untuk membahasnya pada pertemuan luar biasa dewannya pada bulan Juli.
Sepak Bola dan Politik Tidak Bisa Dipisahkan
Standar ganda yang diterapkan FIFA dalam kasus Rusia dan Israel ini juga mendapat sorotan Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI, Fadli Zon. Menurutnya, selama ini FIFA telah menerapkan standar ganda dalam politik sepak bola. Setidaknya, ada dua alasan mengapa FIFA dianggap demikian. Pertama, FIFA terlihat tak konsisten dengan larangan politisasi sepak bola.
“Ketika FIFA dan UEFA menjatuhkan sanksi pelarangan terhadap tim nasional serta klub Rusia untuk berpartisipasi dalam semua kompetisi di bawah FIFA dan UEFA, serta melarang klub dan Timnas Belarusia untuk melakukan pertandingan di kandang sendiri sebagai sanksi atas dukungan mereka terhadap Rusia dalam perang Ukraina, apakah itu bukan pelarangan yang bersifat politik?” ujarnya.
Suka atau tidak suka, lanjut Fadli, sepak bola sebenarnya tidak pernah bisa dipisahkan dari soal politik. Sebab, sepak bola merupakan cabang olahraga yang bisa menghimpun jutaan massa dan miliaran penonton, sehingga bisa menjadi panggung politik strategis.
Kedua, FIFA menuntut semua negara agar berlaku fair terhadap atlet Israel, padahal Israel sendiri tak pernah berlaku fair terhadap atlet dan dunia olahraga Palestina. Meski tidak banyak diekspos oleh media arus utama internasional, bukan rahasia lagi militer Israel sejak lama telah menjadikan bidang olahraga serta para atlet Palestina sebagai target serangan mereka.
Pada November 2006, misalnya, militer Israel pernah mencegah semua atlet sepakbola Palestina untuk berpartisipasi dalam pertandingan final babak penyisihan grup kualifikasi AFC. “Aksi yang tak mudah untuk dilupakan adalah ketika Israel tidak mengizinkan para pemain dan ofisial tim Palestina berpartisipasi dalam pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2010 melawan Singapura,” tambah Fadli.
“Jadi, sangat tidak relevan kalau FIFA membela atlet Israel dengan dalih fair play. Seharusnya para atlet Israel itu ditagih pertanggungjawaban moralnya atas aksi brutal dan tidak fair yang dilakukan oleh pemerintah mereka terhadap atlet dan dunia olahraga Palestina,” sambung politisi Partai Gerindra itu.
Dia menegaskan, dua alasan tersebut sudah cukup menunjukkan bahwa selama ini FIFA telah berlaku tidak fair dan menerapkan standar ganda dalam ‘kebijakan’ sepakbola. “Ini menunjukkan jika FIFA masih belum lepas dari standar ganda. FIFA hanya membela kepentingan Israel, tapi mengabaikan posisi dan pendapat negara-negara lain mengenai negeri penjajah tersebut,” tutupnya.
Standar Ganda Terhadap Israel Meruntuhkan Kredibilitas IOC
Bukan hanya FIFA, Komite Olimpiade Internasional (IOC) juga dituding memiliki standar ganda terhadap Israel. IOC masih melarang atlet-atlet dari Rusia dan Belarusia tampil mewakili negara masing-masing di Olimpiade Paris 2024. Akibatnya, 15 atlet Rusia dan 18 atlet Belarusia berkompetisi sebagai Atlet Netral Individu (AIN). Jika mendapat medali, lagu kebangsaan dan bendera kedua negara tidak ditampilkan, serta catatan medali mereka juga tidak masuk klasemen.
Di sisi lain, atlet-atlet Israel tetap diizinkan berlaga mewakili negara mereka di Olimpiade Paris. Standar ganda IOC inilah yang akhirnya membuat Timnas sepak bola Israel mendapatkan dengan tekanan. Mereka diolok-olok dan diintimidasi saat menghadapi Timnas Mali di fase Grup D sepakvbola putra di Stadion Parc des Princes, Kamis 25 Juli 2024 dini hari WIB.
Dikutip dari cuitan akun X jurnalis Luc Auffret, sejumlah olok-olokan datang dari tribun penonton lantaran banyak pihak mengecam agresi Israel ke Palestina yang masih berlangsung hingga saat ini. Para penonton berjejer rapi dengan membentuk tulisan Free Palestine. Mereka juga meneriakkan nyanyian Free Palestine.
“Olok-olokan dari penonton di tribun semakin terdengar jelas saat lagu Israel diputar sebelum dimulainya laga. Volume pengeras suara sampai dinaikkan agar lagu terdengar karena kalah oleh teriakan para penonton. Situasi serupa berlanjut saat pertandingan berlangsung. Setiap kali pemain Israel memegang bola, penonton langsung mencemoohnya,” kata Auffret.
Anggota IOC selaku presiden Komisi Koordinasi Olimpiade, Pierre-Olivier Beckers berkilah bahwa Israel tidak terkena hukuman karena Federasi Olahraga Israel tidak merecoki Federasi Olahraga Palestina. Hal ini berbeda dengan Rusia yang dinilai IOC melakukan aneksasi kepada sejumlah federasi olahraga di Ukraina.
“Sanksi terhadap Rusia didasarkan fakta bahwa Rusia dan Komite Olimpiade Rusia (ROC) telah melanggar elemen penting Olimpiade, yakni Piagam Olimpiade. Rusia dihukum karena melakukan aneksasi terhadap organisasi olahraga di beberapa wilayah Ukraina. Di saat bersamaan, Komite Olimpiade Israel dan Palestina hidup berdampingan secara damai,” ungkapnya seperti dilansir Marca.
Pakar Hubungan Internasional dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Hafid Adim Pradana menilai, standar ganda yang diterapkan FIFA dan IOC dalam kasus Rusia dan Israel akan meruntuhkan kredibilitas kedua lembaga tersebut.
Dia menyebut, saat merumuskan Olimpiade modern, Baron Pierre de Coubertin ingin ajang tersebut menjadi upaya membangun hubungan lebih baik antara negara-negara Eropa yang saat itu saling membenci satu sama lain.
“FIFA dan IOC harus bisa menerapkan standar yang adil terkait posisinya terkait konflik dan peperangan. Sejatinya, tidak ada satu pun negara yang harus dilarang mengikuti kejuaraan olahraga karena tindakan pemerintah,” katanya.
“Sanksi yang diterapkan harus menyasar ke pemerintah dan pejabat, bukan terhadap atlet yang belum tentu setuju dengan langkah negaranya. Jika IOC terus bersikap tidak objektif, gerakan Olimpiade akan mengalami kemunduran, dan ajang tandingan bisa bermunculan di masa depan,” tutup Hafid.