JAKARTA - Agama dan negara sama-sama saling membutuhkan. Agama memerlukan wadah untuk menerapkan nilai-nilai, sementara kehidupan bernegara memerlukan nilai-nilai agama sebagai panduan dan acuan kehidupan bernegara. Kontribusi ormas Islam yang terlibat aktif dalam pembangunan sumber daya manusia dan pemberdayaan ekonomi umat, adalah salah satu bentuk kolaborasi dengan pemerintah.
Di Amerika Serikat, misalnya, organisasi yang besar dan memiliki anggota yang banyak di antaranya adalah organisasi keagamaan seperti gereja. Karena itu gereja menjadi sangat penting. Variasi dalam organisasi gereja menjadi sangat menentukan pilihan-pilihan karena bisa melakukan mobilisasi politik untuk memperantarai antara warga biasa atau anggota jemaat dengan calon presiden atau partai politik tertentu.
Gereja kulit putih biasanya punya hubungan tradisional dengan Partai Republik. Sementara gereja-gereja yang dimiliki warga kulit hitam memiliki hubungan yang dekat dengan Partai Demokrat. Sementara organisasi di luar keagamaan adalah organisasi buruh, bisnis, olah raga, dan lain-lain. Fungsinya juga sama, yakni menjadi organisasi yang memperantarai antara warga negara dengan kelompok-kelompok politik seperti partai politik atau calon presiden.
Tak berbeda jauh dengan Amerika Serikat, Di Indonesia, organisasi yang besar dan mapan adalah organisasi keagamaan. Untuk non-Islam, organisasi yang besar adalah gereja. Sementara untuk Islam, ada dua organisasi paling besar, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Selain itu, juga ada remaja masjid, majelis taklim, atau pesantren tertentu.
Kolaborasi ormas Islam dengan pemerintah diupayakan dengan program moderasi beragama yang masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Moderasi beragama adalah cara pandang dalam beragama secara moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Moderasi beragama penting untuk menguatkan komitmen kebangsaan, toleransi aktif, serta mencegah paham keagamaan yang ekstrimis.
Pembangunan moderasi beragama di Indonesia menjadi upaya strategis pemerintah dalam membangun kerukunan antarumat beragama. Untuk menuju ke sana, peran ormas Islam pun tidak boleh dilupakan sebagai elemen sentral dalam menancapkan nilai-nilai kebangsaan.
BACA JUGA:
Ormas keagamaan, khususnya ormas Islam telah memberikan warna tersendiri dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, baik sejak dari masa pra kemerdekaan maupun hingga saat ini. Setidaknya terdapat lebih dari 100 organisasi Islam yang bersifat organisasi massa dengan jumlah pendukung mencapai jutaan orang. Ormas tersebut umumnya berawal dari gerakan kebudayaan yang bertujuan menguatkan landasan budaya dalam kehidupan masyarakat dengan kegiatan yang sangat beragam.
Ormas Islam tidak dapat dipandang sebelah mata karena kehadiran dan keterlibatannya secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah maupun tatanan politik di Indonesia. Kegiatan dari ormas-ormas tersebut sangat beragam, namun umumnya melakukan kegiatan keagamaan (dakwah), pelayanan pendidikan, kesehatan, sosial, politik, hingga ke pemberdayaan ekonomi, serta menangkal terorisme dan radikalisme.
Saiful Mujani, direktur dan peneliti dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) mengatakan ormas keagamaan merupakan civil society yang bisa memperantarai antara entitas politik dan pemilih.
"Bahwa orang yang memiliki hak pilih tidak mungkin bisa dijangkau satu per satu karena jumlahnya sangat besar, puluhan bahkan ratusan juta. Upaya yang efisien yang memperantarai antara individu-individu pemilih dengan entitas politik yang mau didukungnya (partai atau calon) adalah organisasi, gereja, organisasi hobi, olah raga, alumni sekolah, dan lain-lain. Organisasi-organisasi tersebut yang kemudian disebut sebagai civil society,"katanya Saiful Mujani
Lebih jauh Saiful menjelaskan bahwa beberapa partai politik di Indonesia memiliki hubungan khusus dengan organisasi massa, misalnya antara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan NU. PKB lahir dari NU. Setidaknya tokoh-tokoh utama di NU itulah yang melahirkan PKB. PKB didirikan oleh Abdurrahman Wahid menjelang Pemilu 1999. Demikian pula Partai Amanat Nasional (PAN) memiliki hubungan khusus dengan Muhammadiyah. Sementara Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memiliki hubungan khusus dengan Masyumi, NU, Parmusi, dan juga unsur Muhammadiyah.
Ormas keagamaan baik Nahdlatul Ulama (NU) maupun Muhammadiyah serta organisasi masyarakat lainnya sebenarnya lahir dari gerakan politik, dalam arti politik sebagai policy atau kebijakan. Hal ini pernah ditegaskan Moh. Mahfud MD dalam pembukaan Rapat Kerja Wilayah (Rakerwil) GP Ansor di tahun 2013. Mahfud menambahkan untuk GP Ansor merupakan bagian dari ilmu kebijakan negara. Juga sebagai bagian organisasi yang lahir untuk memengaruhi kebijakan penyelenggara negara, kebijakan presiden, kebijakan gubernur dan kebijakan lainnya.
“Itu adalah sebuah gerakan politik meskipun bukan dilakukan oleh partai politik. Oleh sebab itu anda adalah produk dari gerakan politik”, ujar Mahfud.
Menurut Mahfud, hal itu juga pernah dilontarkan oleh Bung Karno pada pidato 1 Juni 1945. Kalau umat Islam ingin agar hukum-hukum Islam menjiwai Undang-Undang (UU) maka harus berjuang sekuat-kuatnya. “Saudara bisa masuk ke tengah-tengah masyarakat tidak menggunakan baju partai politik, tapi menggunakan bagaiamana memengaruhi kebijakan publik, bagaimana membangun masyarakat untuk sadar hak-hak konstitusionalnya,” tegas pria asal Madura tersebut.
Lebih lanjut dia menyebutkan agama dan politik adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan seperti sekeping uang logam, agama merupakan landasan, azas, dan penuntun serta visi dalam perjuangan. Dan politik sebagai pengawal agar perjuangan itu berjalan, karena nilai-nilai luhur agama tidak akan berjalan tanpa politik. “Dan kekuasaan politik tanpa agama bisa sesat dan jahat,” tegas Mahfud.
Tujuan Berdirinya Ormas Sesuai UUD 1945
Mantan Menteri Agama periode 1993 – 1998 Dr. H. Tarmizi Taher menjelaskan ormas keagamaan sebagai “tenda bangsa.”. Mengutip buku biografinya yang berjudul Jembatan Umat, Ulama dan Umara (1998) menjelaskan peran dari menteri agama itu harus intensif dengan para ulama.
Kementerian Agama menempatkan seluruh ormas keagamaan sebagai mitra strategis dalam membangun umat dan merawat persatuan bangsa. Pembangunan bangsa membutuhkan keterlibatan ormas keagamaan dalam sebuah ekosistem pembangunan yang sinergis dan mutualistik. Program kolaborasi Kementerian Agama dengan seluruh ormas keagamaan perlu diperbanyak tanpa menjadikan ormas keagamaan kehilangan kemandirian disebabkan ketergantungan kepada bantuan pemerintah.
"Barangkali tiap hari tidak pernah Menag nggak menelpon tokoh-tokoh organisasi keagamaan. Nah, untuk itu saya tidak melalui jalur-jalur yang terlampau formal.” demikian kalimat dalam biografi Tarmizi Taher.
Penting untuk diketahui bahwa ormas bersifat sukarela, sosial, mandiri, nirlaba, dan demokratis. Kemudian, terkait ciri-cirinya, organisasi masyarakat dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan kehendak dan cita-cita yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Berdasarkan Pasal 5 UU 17/2013 jo.Putusan MK 82/2013 dijelaskan pembentukan organisasi masyarakat bertujuan meningkatkan partisipasi dan keberdayaan masyarakat, memberikan pelayanan kepada masyarakat. menjaga nilai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan YME, melestarikan dan memelihara norma, niai, moral, etika, dan budaya yang hidup dalam masyarakat, melestarikan sumber daya alam dan lingkungan hidup, dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
Kemudian, terkait keanggotaan, Pasal 33 UU 17/2013 menerangkan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak menjadi anggota organisasi masyarakat. Keanggotaan organisasi masyarakat pun bersifat sukarela dan terbuka. Segala aturan mengenai keanggotaan organisasi masyarakat ini diatur dalam AD dan/atau ART.
Wacana pemberian bisnis tambang kepada ormas keagamaan yang kini bergulir bisa bertentangan dengan tujuan pembentukan ormas. Apabila hal ini terkait 'balas jasa' usai Pilpres 2024 hendaknya agama dan simbol-simbol agama jangan diperjualbelikan untuk kepentingan politik sesaat.
Pemilu Legislatif, Pilpres dan Pilkada di masa kini bukan pertarungan ideologi, tetapi adu gagasan dan konsep untuk membangun Indonesia yang lebih baik. Untuk itu netralitas ormas keagamaan dan ketenangan tempat ibadah harus tetap terjaga dari hiruk-pikuk politik praktis. Pelaksanaan Pemilu bukan untuk membuat umat dan warga bangsa terbelah, menjadi gaduh, atau saling berhadapan karena beda pilihan