JAKARTA - Setelah di rilis poster dan trailer, banyak warganet di X juga menyatakan keberatan dengan film horor yang memiliki unsur keagamaan tersebut, seperti film Kiblat.
Keresahan ini karena ada stigma buruk terhadap citra agama yang dapat lahir setelah penayangan film tersebut. Bahkan, MUI menganggap film Kiblat sebagai kampanye hitam terhadap ajaran agama. Film kiblat juga dianggap tidak sesuai kaidah etika. Sebagian kalangan menilai film tersebut; dianggap mencemarkan agama,
'
Salah satu hal yang jadi indikasi pada kekhawatiran hal itu, adalah dari penayangan poster dan trailer film 'Kiblat', di mana ada gambar seseorang sedang rukuk wajahnya mengarah ke atas. Judul 'Kiblat' juga dianggap bermasalah dan sebagian orang juga menilai adanya eksploitasi terhadap agama.
Namun dari sejumlah keberatan masyarakat itu. Mereka lebih bertumpu pada persoalan poster dan judul film, bukan pada konten film. Konten diakui MUI, sebagai film yang memiliki nafas syiar agama islam. karena ada penggambaran sejumlah pemuda kota yang berjuang memulihkan pemahaman masyarakat dari kesesatan.
"Dengan segala hormat kepada para pembuat produser film Indonesia, tolong hentikan membuat film horor seperti Kiblat ini. Sama sekali tidak mendidik, bahkan membuat sebagian orang jadi takut sholat, dulu kejadian yang sama terjadi sama sekuel film Makmum, Khanzab," kata Ustaz Hilmi Firdaus melalui unggahan di akun X @Hilmi28.
Gina S Noer, seorang sineas dan sutradara, juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap tren film horor Indonesia dengan tema agama yang muncul belakangan ini. Menurutnya, film-film tersebut telah mengeksploitasi agama, khususnya Islam.
"Kebanyak film horor menggunakan sholat, doa, zikir, dan lain-lain cuma jadi plit devices murahan untuk jumpscara karakternya diganggu setan," tuturnya.
Gina menambahkan bahwa eksploitasi kelemahan iman bukanlah kritik yang mendalam terhadap pemahaman agama yang dangkal, melainkan hanya sebuah cara yang dangkal untuk menciptakan ketakutan. Dia menekankan bahwa adegan menakutkan yang melibatkan ritual ibadah dapat memiliki dampak negatif terhadap penonton, terutama karena banyak yang mengaku menjadi takut untuk melaksanakan sholat setelah menonton film Kiblat.
"Apalagi konteks tingkat literasi masyarakat kita. Tanggung jawab filmmaker bukan cuma balikin investasi tapi juga impact ke kebudayaan," ujarnya.
BACA JUGA:
Hana Saraswati selaku salah satu pemain film Kiblat mengatakan, dirinya tidak berani mengomentari poster film Kiblat karena bukan merupakan kewenangannya. "Aku nggak berani kasih tanggapan untuk poster film Kiblat. Cuma aku meyakinkan ke kalian kalau isi konten dari film tersebut tidak merendahkan Islam sama sekali, apalagi sholat atau arah kiblat kita," kata Hana Saraswati kepada JawaPos.com, Senin (25/3).
Dia lebih lanjut mengatakan, film Kiblat justru berusaha menceritakan tentang orang yang kehilangan arah dalam hidup hingga menggadaikan kehidupan akhirat untuk kehidupan dunia.
"Kontennya sendiri menurut aku justru bagus banget maknanya. Film ini menceritakan tentang orang-arang yang kehilangan kiblatnya sih,orang yang kehilangan arah. Itu yang mau kita ceritain dari film ini," imbuhnya.
Hana Saraswati menaruh harapan besar film Kiblat tetap ditayangkan meskipun saat ini muncul penolakan dan pelarangan film ini ditayangkan.
"Harapan aku justru tetap tayang. Film ini menurut aku pribadi bagus banget. Ceritanya sering terjadi mulai penggandaan uang, pengobatan alternatif gitu gitu kan. Kita semua mengerjakan film ini dengan sepenuh hati. Berharap masyarakat untuk tidak judge sebelum nonton isi filmnya," paparnya.
Artis Prilly Latuconsina mencoba menyampaikan pendapatnya terkait genre film horor yang diduga memiliki unsur agama Islam di dalam ceritanya. Prilly mengaku kalau ia sebenarnya tidak memiliki kapasitas untuk membicarakan hal tersebut. Bukan tanpa alasan, wanita berusia 27 tahun ini memang belum menonton film yang dimaksud dan tidak memahami kesalahan yang sedang diperdebatkan.
"Saya nggak punya kapasitas berkomentar gitu karena saya nggak mengerti prosesnya (produksi), saya juga belum nonton filmnya, saya juga nggak mengerti itu masalahnya di mana gitu," kata Prilly Latuconsina di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu, 27 Maret.
Sebagai produser di rumah produksi Sinemaku Pictures, Prilly merasa kalau setiap produser memiliki kebebasan dalam membuat cerita horor.
"Cuma setahu saya setiap produser punya kebebasan untuk membuat cerita horor dan itu kan juga mungkin fiktif gitu, nggak terjadi di dunia nyata. Ya semua orang punya kebebasan untuk berkreasi saja gitu," imbuhnya.