JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai penjaga terakhir konstitusi di negara ini, ternoda dan putusan yang menjadi mahkotanya telah retak. Ketua MK Anwar Usman yang biasa disebut sebagai Yang Mulia di dalam ruang sidang, jusru memberikan contoh terburuk dengan mendapatkan laporan pelanggaran etik terbanyak dari rakyat Indonesia.
Belum lagi ditambah perdebatan dari para ahli hukum terbaik yang dimiliki ibu pertiwi mewarnai dunia pemberitaan tanah air akibat putusan MK No.90/PUU-XII/2023 tentang batas usia capres/cawapres selama 3 pekan terakhir.
Kekuasaan hakim merupakan kekuasaan yang bebas merdeka. Hakim merupakan wakil dari tuhan di muka bumi untuk menegakkan hukum bagi para pencari keadilan dan kebenaran. Berdasarkan hal itu, hakim tentu saja memiliki hak imunitas yang tecatat di UUD 1945 dan perlu dijaga dengan baik.
Imunitas hakim, kekuasaan yang merdeka, mandiri, didukung asas ius curia novit (hakim itu dianggap serba mengetahui hukum) untuk mengambil putusan hukum yang adil. Putusan hukum yang sudah diambil harus ditegakkan di ruang hampa yang bebas dari intervensi apa pun.
Rentetan aksi Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman di dalam perkara batas usia capres/cawapres dinilai melanggar etik karena menguntungkan keponakannya, Gibran Rakabuming Raka. Akibat dari putusan yang dikeluarkan pamannya, Gibran putra sulung dari Presiden Joko Widodo melenggang bebas ke panggung pilpres 2024. Hal yang sangat wajar jika publik menilai Anwar Usman perlu diberikan sanksi yang berat, diberhentikan secara tidak hormat.
Sayangnya putusan yang dikeluarkan Ketua MK Anwar Usman merupakan putusan yang bersifat final dan didukung oleh UUD 1945. Menurut UUD 1945 sifat final putusan MK itu telah ditegaskan di dalam Pasal 24C Ayat (1). MK merupakan lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final sehingga tidak ada upaya hukum yang tersedia untuk menilai Putusan MK itu tidak sah dan kemudian membatalkannya.
Dan sebagai negara hukum Putusan Mahkamah Konstitusi harus dipandang sebagai putusan yang berlaku sesuai asas res judicata (putusan hakim harus dianggap benar), serta asas res judicata pro veritate habetur yang berarti apa yang diputus hakim harus dianggap benar dan harus dilaksanakan.
Membatalkan putusan MK sama saja menunjukkan aturan yang berada di UUD 1945 sudah rapuh dan tidak kuat. Pasalnya aturan dan undang-undang yang tertulis di UUD 1945 merupakan aturan tertinggi di negara ini.
Batasan dari MKMK
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dibentuk untuk mengawasi, menjaga dan menegakkan kode etik setiap perilaku hakim. Alasan itu yang menyebabkan kewenangan MKMK terbatas. Batasannya hanya untuk memeriksa, mengurai dan menemukan pelanggaran kode etik dari para hakim yang bertugas di mahkamah konstitusi. Namun kelemahan dari MKMK ini juga ada, yakni tidak punya kewenangan membongkar intervensi yang diduga disebabkan di luar yudikatif.
MKMK telah menggelar rapat MKMK, sidang pendahuluan, dan sidang pemeriksaan Lanjutan, dengan mendengarkan keterangan pelapor, hakim terlapor, hakimkonstitusi, ahli, dan saksi sejak Kamis, 26 Oktober hingga Jumat, 3 November.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur menilai, rusaknya kepercayaan publik kepada MK bisa memicu timbulnya krisis konstitusi. Menurutnya, krisis konstitusi itu tidak semata terjadi akibat kesalahan MK, tetapi juga Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Ini pembelajaran penting bagi Jokowi yang dinilai melakukan tindakan-tindakan yang melawan konstitusi. Jadi ini kesalahan bukan hanya di MK, tapi juga di Presiden Joko Widodo yang telah banyak dilaporkan mendorong anaknya,” ujar Isnur, Sabtu 4 November.
BACA JUGA:
Dia mengungkapkan, banyak masyarakat yang merasa kecewa atas keluarnya Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Isnur menyebut, kekecewaan publik harus dipulihkan kembali, termasuk dengan mengkaji peluang revisi terhadap putusan kontroversial itu.
“Kita sudah kehilangan kepercayaan terhadap MK. Tapi pertanyaannya kemudian begini, apa gerakan atau solusi berikutnya? Nah, di sinilah kemudian pentingnya MKMK itu memberikan keputusan yang adil,” imbuhnya.
Dia menegaskan, bila MKMK tidak mampu menghasilkan putusan yang baik maka kondisinya akan tetap sama. Untuk itu, MKMK diharap untuk berani mengeluarkan keputusan yang tegas.
Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie mengakui kasus yang diusutnya ini sebagai sejarah yang belum pernah terjadi di dunia. "Ini perlu diketahui, ini perkara belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia di seluruh dunia, semua hakim dilaporkan melanggar kode etik. Baru kali ini," ucap Jimly.
Jimly menyebut, putusan MKMK terkait dugaan pelanggaran kode etik sembilan hakim MK akan berdampak pada ketentuan pendaftaran bakal pasangan calon presiden dan wakil presiden.
"Nanti tolong dilihat di putusan yang akan kami (MKMK) baca, termasuk jawaban atas tuntutan supaya putusan itu (putusan MKMK) ada pengaruhnya terhadap putusan MK sehingga berpengaruh pada pendaftaran bakal pasangan calon presiden/wakil presiden," kata Jimly kepada wartawan, Jumat, 3 November.
Hak Angket dan MKMK Memiliki Peran Konstitusi yang Sama
Wakil Presiden ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla mengaku sedih melihat kondisi kedua lembaga penegak hukum sedang menghadapi permasalahan yang besar. Padahal menurut JK, begitu panggilan akrabnya, kedua lembaga penegak hukum itu dibangun dengan rasa semangat yang luar biasa. Apalagi, MK sebagai pintu terakhir dalam menjaga konstitusi seharusnya mampu menjaga kepercayaan masyarakat.
"Lembaga ini dibangun dengan niat yang luar biasa untuk menjaga konstitusi dan menjaga agar tidak ada penyelewengan atau korupsi tetapi sekarang ternoda," ujarnya.
Untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dan penegakan konstitusi sesuai ketentuannya, kata dia, maka harus ada sanksi tegas dan jelas terhadap pihak-pihak yang terlibat.
"Harus diberikan sanksi kepada yang berbuat karena itu merusak jalannya negara ke depan," saran dia.
Untuk mengungkap apakah benar ada intervensi di dalam pengambilan Putusan 90/PUU-XXI/2023, penggunaan hak angket DPR digulirkan politisi dari PDIP, Masinton Pasaribu. Penggunaan hak angket yang dimiliki DPR diharapkan bisa mengungkap kotak pandora dari misteri Putusan MK yang kontroversial.
Hak angket yang dimiliki DPR merupakan hak penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
MKMK dan hak angket yang dimiliki DPR memiliki tujuan yang sama yakni mengungkap misteri dari Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang kontroversi. Keduanya diharapkan berjuang dengan caranya sendiri untuk mendapatkan kembali citra dari penjaga konstitusi yang sedang terpuruk.
DPR sebagai salah satu bagian terpenting negara juga diberikan kewenangan oleh konstitusi. Peran yang akan dilakukan nanti juga bagian dari konstitusional dan setinngkat dengan mahkamah konstitusi (MK). Penggunaan hak angket DPR memang bukan solusi yang terbaik namun lebih baik daripada membatalkan Putusan MK.