Sebelumnya, lewat "Malapetaka Limbah Medis Infeksius: Beban Baru Masalah Pandemi COVID-19" kita telah melihat bahayanya limbah medis infeksius. Masih bagian dari Tulisan Seri khas VOI, "Kritis Limbah Medis", kini mari kita sadari betapa kacaunya pengelolaan limbah sampah mulai dari lingkungan terdekat.
Memilah sampah berdasar jenisnya belum menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia. Padahal di tengah pandemi COVID-19 ini, pengelolaan limbah medis infeksius yang kita gunakan sehari-hari seperti masker harus dianggap serius. Ancamannya terhadap kesehatan tak main-main. Pemerintah sebenarnya sudah membuat prosedur untuk mengatasi masalah ini. Namun seperti kebanyakan masalah yang ada di negara ini: praktiknya acap kali kedodoran.
Kami menyurvei kebiasaan memilah sampai dari lingkungan terdekat. Di rumah kami, tepatnya di Desa Babakan RW 8 Kabupaten Bogor, memilah sampah masih dianggap tabu.
Salah seorang tetangga kami, Mulyana mengaku mencampur semua sampah domestiknya. "Disatuin di ember semua, sampah bekas masak, sampah plastik juga. Kalau udah penuh, langsung aja dibuang ke tempat penampungan," ujar dia saat kami tanyai.
Mulyana tak ngeh, kalau ternyata sampah yang tergolong berbahaya seperti masker harus diperlakukan khusus. "Enggak tau ya. Pakai masker sekali pakai juga paling kalau lagi ke luar doang."
Sementara itu Yopi, yang tinggal tak jauh dari rumah Mulyana, punya jawaban serupa tatkala kami tanyai perihal pemilahan sampah infeksius. "Enggak kepikiran. Buang mah buang aja. Memang bagusnya dipisah ya sampahnya." katanya.
Mulyana dan Yovie baru dua dari 750 warga RW 8 Desa Babakan yang kebanyakan masih awam untuk memilah limbah bahan beracun dan berbahaya (B3). Padahal di masa pandemi ini, limbah medis infeksius seperti kami jelaskan pada artikel sebelumnya begitu berbahaya bagi kesehatan bila tak dikelola dengan baik.
Di desa kami sendiri menurut Ketua Posyandu Asoka, Rosdiana, pasien COVID-19 bukannya tidak ada. Setidaknya menurut Rosdiana, sudah ada 23 orang yang terinfeksi virus corona baru tersebut. "Yang meninggal satu orang," katanya kepada VOI.
Soal prosedur pengelolaan limbah medis, untungnya di Posyandu yang Rosdiana kelola masih berjalan. Ia menjelaskan semua limbah medis seperti masker, APD, dan alat kesehatan lainnya, dikumpulkan di kotak safety.
"Setelah dikumpul, kemudian ada petugas yang membawa ke Puskesmas di Cangkurawok. Nanti di sana baru dipilah dan dibakar. Pokoknya jangan sampai limbah ini disalahgunakan lah," beber Rosdiana.
Hal ini tentu belum berlaku di masyarakat umum. "Kalau warga kebanyakan begitu, dibuang ke tempat sampah biasa aja," kata Rosdiana.
Dari Bogor sekarang kita hijrah ke Jakarta. Kami mewawancara salah seorang Ketua RW 014 Kalideres Jakarta Barat, Dede Setiawan ihwal pengelolaan limbah domestik. Menurutnya tak ada perlakuan spesial untuk memilah limbah infeksius seperti masker.
Sistem pembuangan sampah di komplek yang Dede pimpin adalah dengan menerjunkan petugas untuk mengumpulkan sampah dari masing-masing rumah. "Dilempar ke (petugas) kebersihan semuanya."
Warga yang Dede pimpin jumlahnya tak sedikit yakni sekitar 2.200 orang. Sulit dibayangkan bila 50 persen warganya menggunakan masker sekali pakai, berarti ada 1.100 masker yang terkumpul setiap harinya di tempat pembuangan akhir (TPA) kompleknya.
Itu baru satu hari, bagaimana kalau dihitung sejak awal pandemi yang sudah hampir satu tahun di Indonesia. Jumlah yang terkumpul bisa mencapai 13.200 limbah masker.
Jumlah limbah medis infeksius yang tak terkelola dengan baik makin sulit dihitung kalau kita melihatnya secara makro. Sebab menurut berbagai survei, mayoritas masyarakat Indonesia memang belum menerapkan kebiasaan memilah sampah dengan baik.
Minim kesadaran
Survey Sosial Ekonomi (Susenas) 2017 yang diterbitkan Badan Pusat Statistik misalnya mengungkap, 66,8 persen masyarakat Indonesia masih memilih membakar sampah rumah tangganya tanpa dipilah terlebih dahulu. Hal ini membuat limbah B3 turut terbakar bersama limbah lainnya.
Sementara Survey Katadata Insight Center (KIC) mencatat 50,8 persen orang Indonesia tak memilah sampah. Alasannya, 79 persen dari mereka yang ogah memilah sampah karena tak mau repot.
Dalam survei yang digelar di enam kota besar di Indonesia pada 2019 tersebut, orang yang memilah sampah memang terbilang banyak. Namun 77,60 persennya hanya memilah sampah berdasarkan dua kategori.
Padahal menurut Kementerian Lingkungan Hidup, idealnya sampah dipisah menjadi lima kategori. Antara lain, sampah B3, sampah yang mudah terurai, sampah yang dapat digunakan kembali, sampah yang dapat didaur ulang, dan sampah lainnya yang tak termasuk ke dalam empat kategori tersebut.
Prosedur pengolahan limbah
Prosedur pengolahan limbah medis infeksius COVID-19 sebetulnya diatur dalam Surat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan 167/2020 (Surat MENLHK 167/2020) dan Surat Edaran KemenLHK Nomor 2 tahun 2020 (SE MENLHK 2/2020). Aturan itu juga secara spesifik membedakan cara mengelola limbah infeksius yang berasal dari fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) dan yang berasal dari rumah tangga.
Seperti disarikan dari Hukum Online, penanganan secara teknis limbah medis COVID-19 meliputi:
a. Identifikasi, pemilahan dan pewadahan:
- Setiap penghasil limbah wajib melakukan identifikasi untuk semua limbah yang dihasilkannya.
- Melakukan pemilahan dan pengemasan LB3 berdasarkan karakter infeksius dan patologis.
- Bahan kimia dan farmasi kadaluarsa, tumpahan atau sisa kemasan.
b. Penyimpanan Limbah:
- Penyimpanan dilakukan sesuai karakter dan pengemasan.
- Khusus limbah infeksius disimpan paling lama 2 hari hingga dimusnahkan bila pada suhu kamar atau 90 hari hingga dimusnahkan bila suhu 0°C.
c. Pemusnahan:
- Pemusnahan dengan pembakaran menggunakan incinerator yang dioperasionalkan fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) atau pihak jasa pengolah limbah medis berizin.
- Incinerator memiliki ruang bakar dengan suhu minimal 800°C.
Lebih lanjut, SE MENLHK 2/2020 juga menguraikan penanganan limbah infeksius dan sampah rumah tangga penanganan COVID-19. Limbah infeksius yang berasal dari fasyankes prosedurnya harus disimpan dalam kemasan tertutup maksimal dua hari sejak dihasilkan. Lalu, libah diangkut dan dimusnahkan menggunakan incinerator bersuhu minimal 800 derajat Celcius atau dengan autoclave dengan dicacah.
Sedangkan limbah infeksius dari rumah tangga yang terdapat orang dalam pengawasan COVID-19, mengemas sendiri limbahnya dengan wadah tertutup. Dan wadah itu harus diberi label "limbah infeksius".
Kemudian. Orang ODP itu harus mengangkut dan memberikan limbahnya di titip tempat pengumpulan limbah B3. Barulah kemudian petugas dari dinas yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup, kebersihan dan kesehatan mengambilnya di titik itu untuk diangkot ke lokasi pengepulan sebelum diserahkan ke pengolah limbah B3.
Bukan cuma itu, aturan tersebut juga mengimbau masyarakat yang menggunakan masker sekali pakai harus merobek, memotong atau menggunting masker dan mengemasnya dalam plastik sebelum dibuang ke tempat sampah. Sementara seperti tertulis dalam beleid, pemerintah daerah wajib menyiapkan tempat sampah khusus masker di ruang publik.
Praktiknya nihil
Dalam praktiknya, imbauan KemenLHK soal pengolahan limbah terlihat seperti formalitas saja. Dari yang paling terlihat saja, tempat sampah khusus masker, sama sekali tak ditemukan di tempat yang kami survey yakni di RW 8 Desa Babakan, Bogor maupun RW 014 Kalideres, Jakarta Barat. Apalagi soal memilah betulan sampah infeksius yang memang masih minim.
Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, M Reza Cordova mengatakan kesadaran masyarakat soal memilah sampah ini memang kompleks. Menurut riset LIPI, secara umum, hanya satu dari dua orang yang bersedia memilah sampah.
Untuk itu dukungan pemerintah untuk pengelolaan limbah yang lebih baik sangat penting. "Dalam hal ini penting sekali untuk pengelolaan yang lebih baik," kata Reza saat diwawancara VOI.
Kekosongan tempat sampah APD seperti yang terjadi di Bogor dan Jakarta Barat seharusnya sudah segera dibenahi. Penyebaran dropbox tersebut sudah seyogyanya diperbanyak.
"Misalnya memiliki banyak dropbox sampah APD di tempat umum seperti di Banjarmasin. Atau seperti di DKI yg jemput bola sampah APD tingkat kecamatan/kelurahan," kata Reza.
Lalu soal pengeumpulan limbah COVID-19, Reza menuturkan ini tergantung anggaran dari pemerintah daerah. "Kalau anggarannya besar seperti Surabaya, Jakarta itu seharusnya bisa mengelola sampahnya dengan lebih baik."
Rantai masalah
Pada masalah limbah infeksius dari orang yang melakukan isolasi mandiri, kata Reza kita tidak pernah tau apakah faktanya betul-betul dikelola atau tidak. "Misalnya tetangga yang tinggal di satu perumahan saya, enggak ada yang melakukan pemilahan. Dan itu juga memang terjadi di banyak hal."
Masalah itu pun diamini ketika Reza rapat dengan satgas COVID-19. "Mereka menyatakan hal yang sama. Ini memang harus proaktif dari kita."
Sementara KLHK dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pun bukannya tak tau. Namun menurut Reza permasalahan ini kembali lagi ke dinas lingkungan hidup, dan mereka mengandalkan lagi masalah ini kepada pihak ketiga.
"Dari pihak ketiganya sendiri, di Indonesia baru ada 21 perusahaan. Itu pun terkonsentrasi di pulau Jawa," kata Reza.
Permasalahan lebih pelik lagi di luar Pulau Jawa. Sebab rantai pengelolaan limbah infeksius lebih panjang lagi.
"Satgas COVID-19 pun menyatakan yang di Papua itu aja akan repot, dari Papua dibawa ke Makassar, lalu ke Jawa. Nah kalau itu terjadi kita tak pernah tau apakah betul dibawa ke Jawa atau jangan-jangan dibuang ke laut. Itu yang masih jadi banyak pertanyaan," ujar Reza.
Padahal mengeola limbah medis infeksius ini kata Reza tak bisa sembarangan. Sebab kemungkinan terpapar virus dari limbah pasien COVID-19 ini cukup tinggi.
"Limbah ini kan banyak, apalagi yang isoman ini dibuangnya tak tau kemana. Yang jelas tekanan terhadap lingkungan akan semakin tinggi," pungkasnya.
Ikuti Tulisan Seri Edisi Ini: Kritis Limbah Medis