Bagikan:

JAKARTA - Polusi udara di Ibu Kota, Jakarta, hingga tanggal 31 Agustus menduduki peringkat kelima dalam daftar kota paling terpapar polusi udara di seluruh dunia. Data ini berasal dari Index Kualitas Udara (IQAir). Nilai indeks kualitas udara (AQI) Jakarta mencapai 167 AQI US, kategori "Tidak Sehat" menurut standar.

Dampak polusi udara mengubah langit ibu kota menjadi kelabu daripada biru. Sebagai kota terbesar di Indonesia berdasarkan jumlah penduduk, Jakarta menampung lebih dari 10 juta jiwa dalam wilayah seluas 661,5 km². Saat ini, DKI Jakarta juga berfungsi sebagai pusat politik dan ekonomi serta ibu kota Indonesia.

Berdasarkan penelitian Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi DKI Jakarta pada 2020, sektor transportasi menjadi penyumbang terbesar polusi udara di Jakarta, mencapai 67,04 persen. Industri memberikan kontribusi sekitar 26,8 persen, sementara pembangkit listrik hanya 5,7 persen.

Data dari Polda Metro Jaya mencatat ada 23 juta kendaraan baik roda dua maupun empat pada 2023. Di mana setiap tahun terjadi peningkatan jumlah kendaraan sebesar 2-3 persen.

Berdasarkan buku yang berjudul Banten dalam Angka yang disusun oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Banten pada tahun 2008, menerangkan secara nyata bahwa Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang memiliki jumlah perusahaan yang cukup besar. Diperkirakan jumlah perusahaan di kedua wilayah Tangerang itu mencapai separuh dari keseluruhan industri yang ada di Provinsi Banten.

Perusahaan-perusahaan yang tercatat dan berada di sekitar Tangerang tentu beraneka ragam. Mulai dari industri karet, industri makanan dan minuman, industri sepatu hingga industri berbahan kimia. Keragaman industri yang ada di Tangerang itu yang memberikan sebutan sebagai kota seribu industri di Indonesia.

Selain di Tangerang, Jakarta juga memiliki kawasan berikat nusantara yang berada di bilangan Marunda, Jakarta Utara dan kawasan industri di Pulogadung, Jakarta Timur. Mengarah ke barat, Jakarta berbatasan langsung dengan Cikarang yang juga termasuk kawasan industri berskala nasional.

Jakarta juga dikelilingi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dari dua provinsi, Banten dan Jawa Barat. Terdapat 17 PLTU di Banten dan Jawa Barat yang mengandalkan batu bara sebagai sumber energi. Tidak menutup kemungkinan bahwa sejumlah PLTU ini turut berkontribusi pada polusi udara di Jakarta.

Sejumlah PLTU yang beroperasi di sekitar Jakarta mencakup:

· PLTU Banten Suralaya: 8 unit - 4.025 MW

· PLTU Cemindo Gemilang: 1 unit - 60 MW

· PLTU Pelabuhan Ratu: 3 unit - 1.050 MW

· PLTU Merak: 2 unit - 120 MW

· PLTU Cilegon PTIP: 1 unit - 40 MW

· PLTU Jawa-7: 2 unit - 1.982 MW

· PLTU Banten Labuan: 2 unit - 600 MW

· PLTU DSS Serang: 4 unit - 175 MW

· PLTU Banten Lontar: 3 unit - 945 MW

· PLTU Cikarang Babelan: 2 unit - 280 MW

· PLTU FAJAR: 1 unit - 55 MW

· PLTU Pindo-Deli-II: 1 unit - 50 MW

· PLTU Indo Bharat Rayon: 1 unit - 36,6 MW

· PLTU Purwakarta Indorama: 2 unit - 60 MW

· PLTU Banten Serang: 1 unit - 660 MW

· PLTU Bandung Indosyntec: 1 unit - 30 MW

Keberadaan industri, padatnya kendaraan dan 17 PLTU yang mengelilingi Jakarta mirip dengan Kota Beijing. Ironisnya, Beijing sendiri terperangkap dalam polusi udara akibat topografinya yang dikelilingi oleh pegunungan.

Menurut National Library of Medicine, kualitas udara Beijing memburuk terutama pada musim semi dan panas. Suhu dan kelembapan yang tinggi, serta angin membawa polutan dari sektor industri di selatan, menjadi penyebab utama kabut asap. Warga Beijing mengalami rentang hidup lebih pendek dibandingkan dengan mereka yang tinggal di Tiongkok selatan, dengan perbedaan sekitar lima hingga enam tahun. Polusi udara di Beijing juga mengakibatkan penurunan tingkat kelahiran dan peningkatan kematian akibat penyakit pernafasan. Angka kanker paru-paru juga meningkat lebih dari 60% dalam dekade terakhir, meskipun angka merokok tidak mengalami peningkatan.

Kualitas udara diukur dengan Indeks Kualitas Udara (AQI) dari 0 hingga 500, dengan tingkat berwarna yang berbeda untuk mengindikasikan tingkat bahaya udara pada hari tersebut. Skor di bawah 100 disebut sebagai "Hari Langit Biru", ketika kabut asap tidak terlihat jelas. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa skor mendekati 500 mengandung lebih dari dua puluh kali lipat partikel berbahaya di udara.

Polusi udara di Jakarta juga mengalami peningkatan signifikan, menyebabkan penutupan kota oleh kabut asap yang tebal. Diperlukan kesadaran dan tindakan bersama warga serta pejabat pemerintah untuk menghadapi ancaman serius ini.

Ketua Kampanye Walhi DKI Jakarta, Muhammad Aminullah, mengungkapkan bahwa pemerintah belum berani memberlakukan aturan lingkungan yang ketat terhadap perusahaan, yang pada akhirnya merugikan masyarakat. Pemerintah baru-baru ini lebih fokus pada sektor transportasi sebagai sumber utama pencemaran udara, sementara fokus pada perusahaan belum sepenuhnya diterapkan.

Kulitas udara Jakarta yang buruk membuat warga terdampak mengalami penyakit saluran pernapasan. (DI Ilham dan Andry Winarko VOI)
Kulitas udara Jakarta yang buruk membuat warga terdampak mengalami penyakit saluran pernapasan. (DI Ilham dan Andry Winarko VOI)

Warga Jakarta Dihadapkan pada Ancaman Penyakit Saluran Pernafasan dan Kulit

Isu polusi udara parah di Ibu Kota, Jakarta, telah berlangsung selama 5 tahun terakhir. Namun, baru pada tahun 2023 masalah ini menjadi sangat serius setelah Presiden Jokowi mengalami batuk-batuk yang diduga disebabkan oleh polusi udara yang semakin memprihatinkan di Jakarta. Polusi udara tersebut mengandung PM 2.5 serta zat berbahaya lain seperti nitrogen dioksida (NO2), karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), dan partikulat materi 10 (PM10) hingga PM2.5.

Partikulat Materi (PM2.5) adalah partikel udara dengan ukuran kurang dari atau sama dengan 2.5 µm (mikrometer). Sementara itu, PM10 dianggap sebagai ancaman kesehatan karena dapat masuk ke paru-paru melalui saluran pernapasan dan menumpuk di sana. PM2.5 memiliki risiko kesehatan yang lebih besar karena ukurannya yang lebih kecil dari sehelai rambut, memungkinkannya untuk masuk jauh ke dalam paru-paru.

Konsentrasi PM2.5 diukur dengan metode Beta Attenuation Monitoring dan dinyatakan dalam satuan mikrogram per meter kubik (µm/m3). Yang menarik, BMKG baru memulai pemantauan terhadap partikulat matter (PM) ini pada tahun 2020. Artinya, pemerintah baru selama tiga tahun terakhir secara aktif memantau masalah serius akibat polusi udara.

Tidak hanya berdampak pada saluran pernapasan, seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), polusi udara juga merugikan kesehatan kulit. Dr. Irmadita Citrashanty, seorang pakar penyakit kulit dan kelamin dari Universitas Airlangga, menyatakan bahwa polusi udara mengandung zat yang dapat merusak kulit dan mempercepat penuaan kulit. "Polusi udara mengandung Reactive Oxygen Species (ROS) dalam kadar tinggi, yang membuat kulit terlihat lebih tua dari usia sebenarnya. Tanda-tanda penuaan seperti kerutan dan bintik hitam muncul lebih awal," kata Dr. Irmadita Citrashanty seperti yang dikutip dari Unair.com pada 28 Agustus.

Selain itu, polusi udara juga dapat memicu kambuhnya penyakit kulit seperti eksim, eczema, atau dermatitis atopik. Kulit sensitif juga berisiko mengalami gatal-gatal, iritasi, dan kemerahan. "Bagi kulit yang tahan, mungkin tidak banyak efeknya, tetapi risiko terhadap kanker kulit tetap besar," jelasnya. Faktor utama penyebab kanker kulit sebenarnya adalah intensitas, frekuensi, dan radiasi sinar matahari.

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan RI, Maxi Rein Rondonuwu, mengungkapkan bahwa kasus ISPA di wilayah Jabodetabek mengalami peningkatan cukup signifikan. Dia menyatakan bahwa ini disebabkan oleh polusi udara di Jakarta. "Wilayah Jabodetabek mengalami peningkatan masalah polusi udara. Data dari surveilans penyakit menunjukkan peningkatan kasus ISPA yang dilaporkan di puskesmas dan rumah sakit, mencapai 200 ribu per bulan," ujar Maxi dalam konferensi pers Kemenkes RI pada 28 Agustus.

Jakarta dan Beijing: Mengatasi Polusi Udara Menuju Udara Bersih

Serangkaian tindakan yang diumumkan Pemerintah DKI Jakarta pada minggu ketiga bulan Agustus, termasuk penggunaan kendaraan listrik untuk pejabat setingkat Eselon IV ke atas, kebijakan work from home (WFH) untuk ASN DKI Jakarta, dan rencana modifikasi cuaca, telah mendapat sorotan. Namun, berdasarkan data dari situs IQAir.com, kualitas udara di Jakarta mencapai angka 167 dan berwarna merah, menunjukkan kondisi tidak sehat.

Konsentrasi PM2.5 di Jakarta saat ini mencapai 17.4 kali lipat dari nilai panduan kualitas udara tahunan WHO. Bahkan, cuaca yang tidak sehat di Jakarta diperkirakan akan berlangsung hingga Jumat, 31 Agustus mendatang.

Guru Besar Teknik Lingkungan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Puji Lestari, menyajikan beberapa solusi untuk mengatasi masalah polusi udara di Ibu Kota. Fokus utamanya adalah menurunkan emisi di sektor transportasi darat, yang menjadi akar masalah polusi udara di Jakarta. "Salah satu caranya adalah mengadopsi standar EURO4 untuk kendaraan berpenumpang seperti bus, truk, dan sepeda motor. Kendaraan-kendaraan berat seperti bus dan truk menghasilkan bahan bakar yang lebih boros. Sementara sepeda motor juga menciptakan polutan seperti karbon monoksida (CO)," jelas Puji Lestari.

Selain itu, patut untuk mencontoh beberapa kota di dunia seperti Beijing dan Shanghai yang berhasil mengubah kualitas udara mereka dari bahaya menjadi sehat. Hal ini diungkapkan oleh Ahmad Safrudin, Pengamat Lingkungan Perkotaan dan Direktur Eksekutif Komisi Penghapusan Bensin Bertimbal. Dia menyatakan bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seharusnya mengambil contoh dari pengendalian polusi udara yang dilakukan oleh Beijing di China. Hal ini karena Jakarta dan Beijing memiliki masalah yang mirip.

"Beijing pada tahun 1998 memiliki tingkat polusi udara tertinggi dan kemudian memutuskan untuk menghadapi masalah ini. Pertumbuhan kendaraan bermotor yang tinggi dan penggunaan batubara oleh industri adalah beberapa faktor penyebabnya," jelas Ahmad Safrudin kepada VOI.

Berdasarkan data dari IQAir.com, saat ini Beijing menduduki peringkat ke-59 dengan angka 45 AQI US dan konsentrasi PM2.5 di Beijing mencapai 1.4 kali lipat dari nilai panduan kualitas udara tahunan WHO. Shanghai, di sisi lain, berada di peringkat ke-71 dengan angka 33 AQI US dan konsentrasi PM2.5 di Shanghai mencapai 2 kali lipat dari nilai panduan kualitas udara tahunan WHO.

Dalam hitungan hari, DKI Jakarta akan menjadi tuan rumah KTT ASEAN. Pertanyaannya, mampukah DKI Jakarta mempercepat dan memperbaiki upaya dalam mengatasi polusi udara, sehingga pertemuan negara-negara ASEAN berjalan lancar dan sukses?

Momen KTT ASEAN ini juga berpotensi menjadi dorongan bagi lahirnya banyak kebijakan baru dalam mengatasi polusi udara di Jakarta. Meskipun tindakan darurat mungkin perlu diambil tergantung pada tingkat polusi, faktor paling penting dalam mengendalikan polusi udara adalah penerapan tegas undang-undang baru dan reformasi undang-undang yang ada.