Bagikan:

JAKARTA - Politik dan strategi merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Strategi itu rencana dan tindakan yang akan diambil di masa mendatang untuk mencapai tujuan akhir. Dan para raja tentu memiliki strategi yang kuat.

Tahun 1967, Soeharto sempat menolak ketika ditawarkan memangku jabatan presiden menggantikan Soekarno saat sidang MPRS. Alasannya karena pria asal Bantul ini sangat dekat dan tidak ingin menjadi lawan politik Soekarno. Namun pada akhirnya, pria yang suka bercanda dan tertawa ini berhasil menjadi presiden terlama selama 30 tahun dengan memanfaatkan golkar yang belum menjadi partai besutan Soepomo.

Soeharto mengadopsi sistem Golongan Karya atau Golkar untuk memperkuat kuasanya sebagai presiden. Sistem ini sebenarnya sudah diwacanakan Sukarno seperti dilansir dari buku berjudul Golkar Sejarah yang Hilang: Akar Pemikiran & Dinamika karangan David Reeves.

Reeves menyebutkan golkar adalah alat yang digunakan oleh Soeharto. Namun pria yang gemar tertawa ini menyadari jika dirinya bukan pendiri dari golkar sehingga penghargaan atas bukan miliknya itu terlihat sekali saat di awal-awal.

"Salah satu penyebabnya Soeharto tidak tertarik mungkin karena dicetuskan oleh Soekarno, Soepomo dan KH Dewantara, sehingga di waktu awalnya tidak begitu dihargai. Soeharto menilai golkar itu adalah alat dan tidak begitu penting untuk diingat," kata David Reeves.

Kuda Hitam

Hal yang sama juga dilakukan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) di tahun 2004. Pria kelahiran Pacitan ini juga sempat mengatakan tidak akan maju karena sangat tunduk dengan Megawati. Namun kenyataannya, SBY berhasil menjadi kuda hitam. Meski dia harus berjuang melawan 4 kandidat tokoh nasional di era transisi reformasi seperti Panglima TNI Wiranto, Megawati, Hamzah Haz dan Amien rais.

Sebagai kuda hitam, SBY yang berlatar belakang sebagai militer mendirikan Partai Demokrat sebagai kendaraan politiknya saat itu. Partai berlambang bintang mercy yang dilahirkan 9 September berhasil menyapa hati semua masyarakat Indonesia. Ajaibnya, demokrat berhasil menjadi partai penguasa selama 2 periode.

Dua presiden di atas memiliki latar belakang sebagai militer dan elite parpol. Strategi yang digunakan Jokowi saat di awal maju menjadi presiden ke tujuh juga nyaris sama dengan seniornya. Jokowi yang diawal menjabat sebagai wali kota Solo juga mengatakan akan menuntaskan masa jabatannya sebagai walikota dengan baik. Ia ditemukan JK dan akhirnya dibawa ke Megawati untuk maju di perhelatan Gubernur DKI.

Lompatan politik pria yang berpenampilan sederhana dan terkesan lugu ini juga tidak bisa ditebak! Jokowi yang lahir di Surakarta merupakan presiden ke tujuh yang tidak berasal dari elite politik atau militer. Pria kelahiran tahun 1961 ini memulai karier politiknya sebagai eksekutif dari bawah. Jokowi berhasil mengangkat partai berlambang banteng moncong putih menjadi partai berkuasa menggeser demokrat selama dua periode.

Pembahasan di atas kiranya menjadi refleksi awal bagaimana melihat dunia perpolitikan yang kini semakin maju seiring dengan perkembangan teknologi yang pesat. Tidak jarang ada yang mengarah kepada konflik berkepanjangan tentang dimensi-dimensi tafsirnya. Artinya, sejauh ini banyak manusia yang berusaha memaknai dunia perpolitikan sebagai wadah menunjukkan idealisnya masing-masing.

Wujud konkritnya bisa dirasakan saat musim pemilu datang, entah itu eksekutif maupun legislatif. Persaingan tidak hanya ditunjukkan oleh pasangan calon akan tetapi semua ikut tergerak menunjukkan jati dirinya. Bahkan politik mempengaruhi gaya hidup dengan adanya pembatasan-pembatasan interaksi sosial.

Strategi Capres

Peneliti Senior IPSOS Arief Nurul Iman mengatakan dunia politik jelang Pemilu Presiden 2024 berbeda dengan sebelumnya, pola saat ini mirip dengan tradisi kerajaan Mataraman digunakan Prabowo. Menurut Arief hanya Prabowo Soebianto yang gayanya mirip dengan Jokowi saat maju mengikuti kontestasi presiden.

Strategi Jitu Calon Raja

"Ada perubahan yang terlihat jelas di Prabowo dalam berkomunikasi, semua pihak dirangkul dan dipangku. Prabowo kini lebih humanis dan meninggalkan gaya militeristiknya. Mirip sekali dengan Jokowi saat mengikuti kontestasi politik menjadi presiden kemarin," kata Arief Nurul Iman kepada VOI saat dihubungi melalui sambungan telepon, 14 Agustus.

Gaya Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo berbeda dengan Prabowo. Anies yang menggunakan pola melawan arus seperti ikan salmon dengan membawa konsep perubahan dan mengklaim sebagai antitesa Jokowi dinilai tidak akan berkembang dari sisi elektabilitasnya. Arief juga menyebutkan pola Anies yang gemar melawan arus memang dikenal sejak menjabat sebagai ketua senat mahasiswa.

Sementara Ganjar Pranowo yang saat ini maju sebagai kandidat dari PDIP dinilai tidak akan membawa perubahan bagi bangsa. Hal ini disebabkan posisinya Ganjar sama seperti Jokowi yakni petugas partai.

"Saya kenal Anies sejak jaman masih kuliah dan beberapa kali bertemu untuk membahas rencana atau strategi yang diambilnya. Tidak jauh berbeda saat dia masih kuliah, suka melawan arus dan memiliki dasar yang kuat saat memutuskan sesuatu. Sementara untuk Ganjar, jika dia menang maka keputusan apapun yang diambilnya harus minta persetujuan dari Megawati sebagai ketua umumnya," kata Arief.

Senada dengan Arief Nurul Iman, mantan Ketua DPR Marzuki Alie juga mengatakan ada perubahan yang cukup besar yang dilakukan Prabowo Soebianto dalam gaya berkomunikasi. Disebutkan Marzuki Alie, Prabowo selalu menegaskan kepada semua timnya untuk tidak melakukan serangan balik udara jika ada yang menghujat dirinya.

"Dalam mengikuti konstestasi yang ketiga sebagai calon presiden, Pak Prabowo itu selalu menekankan semua untuk selalu menjaga persatuan dan kesatuan. Bukan tidak memiliki buzzer dari sisi udara melainkan dilarang untuk melakukan serangan balik kepada siapapun yang menghujat atau mengkritik dengan tajam," kata Marzuki Alie kepada VOI saat ditemui di Jakarta.

Mirwan Bz Vauly, tim inti dari GoAnies membenarkan sosok Anies Baswedan yang suka melawan arus atau menjadi antitesa dari Jokowi. Dia menyebutkan sejarah dalam politik memang kerap terulang namun ada juga berdasarkan kecenderungan dari peristiwa yang nyata dan juga tercatat sebagai sejarah.

Pria yang menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Go Anies ini menyebutkan sosok Anies Baswedan tidak akan gentar dengan strategi Jokowi yang mungkin saja memberikan dukungan terhadap calon presiden tertentu. Hal ini disebabkan raja sesungguhnya dari pesta demokrasi mendatang itu tak lain adalah rakyat bukan Jokowi.

"Strategi tertentu yang diterapkan Anies tentu tidak akan kami buka. Saya akan memberitahukan dasar dari pergerakan Anies Baswedan itu antara lain ilmu pengetahuan (knowledge) dan keinginan rakyat yang ingin ada perubahan lebih baik setelah pemerintahan Jokowi ini usai. Dan raja sesungguhnya dari pesta demokrasi itu tak lain adalah rakyat Indonesia," kata Mirwan kepada VOI saat dihubungi melalui sambungan telepon, 14 Agustus.

Mirwan beralasan hal ini bisa dilihat dari antusias rakyat yang menyambut Anies di setiap daerah. Menurut dia sambutan yang diberikan rakyat kepada Anies tidak ada rekayasa atau kepalsuan.

"Rakyat Indonesia saat ini sudah cerdas dan menginginkan perubahan yang nyata serta berharap kepada Anies. Dan antusias mereka di sini tidak ada rekayasa atau agenda buatan yang dibuat tim melainkan murni dari rakyat itu sendiri. Hal ini mirip dengan hukum newton yang terdiri dari satu, dua dan tiga. Ada aksi dan reaksi dan kami akan berlandaskan seperti hukum newton tersebut, itu kluenya dari strategi Anies. Sejarah bisa saja berubah dan berganti sesuai dengan knowledge (ilmu pengetahuan) yang dikuasai atau dimiliki,"tandasnya.