Perang dan Resesi Ekonomi adalah Krisis Nyata yang Harus Dihadapi Dunia
Resesi ekonomi dan perang tetap menjadi krisis yang mengancam stabilitas global. (Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Setelah berhasil lepas dari ancaman COVID-19 yang telah melanda dua tahun sebelumnya, penduduk dunia, sepanjang tahun ini, tetap tak lepas dari krisis. Tak hanya menyoal inflasi dan cuaca ekstrem, potensi terulangnya perang dunia juga kian besar.

VOI merangkum sejumlah aksi yang menimbulkan ketegangan negara-negara dunia sepanjang 2022, berikut ulasannya:

Invasi Militer Rusia

Aksi pertama tentu invasi militer Rusia ke Ukraina pada 24 Februari. Iring-iringan pasukan Rusia masuk melintasi perbatasan ke arah timur wilayah Chernihiv, Kharkiv,dan Luhansk. Sejumlah pasukan lainnya juga masuk melalui jalur laut di Odessa dan Mariupol bagian selatan.

Presiden Rusia Vladimir Putin beralasan perang dilakukan semata untuk menjaga negaranya dari ancaman pihak luar. Dalam pidatonya pada awal perang, Putin menyatakan kekhawatirannya terhadap ekspansi NATO yang memindahkan infrastruktur militernya semakin dekat ke perbatasan Rusia.

Ekspansi tersebut realitasnya disambut baik oleh Ukraina yang notabene merupakan rival pertahanan Moskow. Ini, menurut Putin, ancaman yang serius. Mengacu sejarah, ada banyak contoh yang bisa membuktikan langkah ekspansi tersebut. Semisal, operasi militer terhadap Beograd, Serbia.

“Saya harus mengingat fakta-fakta ini, karena beberapa rekan Barat lebih suka melupakannya, dan ketika kami menyebutkan peristiwa itu, mereka lebih suka menghindari berbicara tentang hukum internasional, daripada menekankan keadaan yang mereka anggap perlu,” ucap Putin dalam pidatonya seperti dilansir dari AFP.

Lalu, peristiwa di Irak, Libya, Suriah. Putin mengatakan, “Penggunaan kekuatan militer secara ilegal terhadap Libya dan distorsi dari semua keputusan Dewan Keamanan PBB di Libya menghancurkan negara, menciptakan terorisme internasional, dan mendorong negara itu menuju bencana kemanusiaan, ke dalam pusaran perang saudara yang telah berlanjut di sana selama bertahun-tahun.”

Presiden Rusia Vladimir Putin pada Kamis (20/10/2022) menginspeksi pelatihan personel rekrutan baru yang akan berpartisipasi dalam operasi militer khusus di Ukraina, kata Kremlin melalui pernyataan. (Antara/Xinhua)

Sehingga, bila negara-negara barat ingin menghentikan Rusia, Putin menegaskan, Ukraina harus berada di posisi netral. "Didenazifikasi dan didemiliterisasi. Serta kontrol Rusia atas Krimea yang dicaplok secara resmi diakui.”

Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dalam pidatonya di Kongres Amerika Serikat pada 21 Desember bersumpah negaranya tidak akan pernah menyerah kepada Rusia. Dia akan terus berupaya memenangkan opini dunia.

Pembicaraan damai bisa saja dilakukan selama memberi keadilan untuk rakyat Ukraina.

“Itu berarti tidak ada kesepakatan tentang kedaulatan, kebebasan, dan integritas teritorial negara saya,” kata Zelensky seperti dilansir dari Deutsche Welle.

Saat ini, perang Rusia-Ukraina semakin memanas. Negara-negara Uni Eropa telah memberikan sanksi tegas untuk Rusia mulai dari membatasi akses Moskow ke pasar modal, larangan impor minyak, hingga aturan perdagangan yang lebih ketat lainnya.

Selain itu, Washington kabarnya juga telah mengonfirmasi bantuan militer untuk Ukraina, antara lain lewat sistem rudal pertahanan udara Patriot.

Rudal Patriot adalah bagian dari sistem pertahanan canggih, yang mampu menembak jatuh rudal jelajah, pesawat terbang, hingga rudal balistik jarak pendek dari jarak ratusan mil.

Sejak awal, menurut Putin, Rusia selalu membuka pintu damai terhadap Ukraina. Hanya saja, ada pihak-pihak lain yang tidak mengingkan perdamaian.

“Kami siap bernegosiasi dengan semua pihak yang terlibat, merumuskan solusi yang dapat diterima. Tapi, itu terserah mereka,” kata Putin pada 25 Desember.

Kunjungan Nancy Pelosi ke Taiwan

China telah berulangkali memperingatkan negara-negara barat agar tidak ikut campur urusan pemerintahan Taiwan yang dianggap masih menjadi bagian dari negaranya. Bila ada yang melawan, China menegaskan tak segan mengerahkan segala kekuatan, termasuk militer untuk menghalau berbagai ancaman.

Namun, Ketua DPR Amerika Serikat Nancy Pelosi tak menggubris gertakan tersebut dan tetap melakukan kunjungannya ke Taiwan pada 2 Agustus 2022 malam. Ini, menurut Pelosi, untuk menghormati komitmen teguh Amerika mendukung demokrasi Taiwan yang semarak.

"Diskusi kami dengan kepemimpinan Taiwan menegaskan kembali dukungan untuk mitra kami dan mempromosikan kepentingan bersama, termasuk memajukan kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka,” kata Pelosi.

Dalam kesempatan terpisah, Pelosi pun mengatakan kunjungan tersebut hanya untuk mempererat persahabatan dan bukan untuk mengubah status quo di Taiwan.

Menteri Luar Negeri China, Wang Yi menganggap itu merupakan tindakan provokatif. Beijing langsung bereaksi keras dengan mengumumkan siap menggelar latihan militer di sekeliling Taiwan pada 4-7 Agustus setelah Pelosi tiba.

Presiden Taiwan, Tsai Ing Wen berpose dengan rudal antiroket. (Taiwan Presidential Office)

Latihan mencakup gabungan angkatan laut dan udara, penembakan peluru tajam jarak jauh di Selat Taiwan, dan peluncuran uji coba rudal konvensional di lepas pantai timur Taiwan. Ini adalah pertama kalinya PLA akan meluncurkan artileri jarak jauh langsung melintasi Selat Taiwan.

Tercatat, hanya 19 jam Pelosi dan rombongan kongres Amerika berada di Taiwan. Sebelum latihan militer digelar, Pelosi sudah beranjak dari Taiwan.

Menurut Wang Yi seperti dilansir dari Russian Today, "Washington memiliki sejarah menciptakan masalah terlebih dahulu, dan kemudian menggunakannya untuk mewujudkan rencana strategisnya sendiri di tempat lain di dunia.”

Serangan Rudal di Polandia

Pada 15 November, rudal menghantam fasilitas gandum di bagian timur Polandia yang berjarak sekitar 6 km dari perbatasan Ukraina. Sejumlah pimpinan negara anggota NATO yang sedang menghadiri G20 di Bali langsung menggelar pertemuan mendadak guna mengumpulkan informasi yang jelas mengenai kejadian tersebut.

Bila benar Polandia yang merupakan anggota NATO mendapat serangan, perjanjian artikel 5 akan dijalankan. Artikel 5 adalah prinsip pertahanan kolektif, menyerang satu negara anggota berarti dianggap telah menyerang seluruh negara.

Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky bersikeras rudal yang menyerang Polandia adalah milik Rusia.

“Saya yakin ini bukan misil kami. Saya yakin ini adalah rudal Rusia, berdasar laporan militer kami,” kata Zelensky dilansir dari AFP.

Namun, Presiden Amerika Serikat Joe Biden, ketika konferensi pers di Bali, memprediksi kecil kemungkinan rudal berasal dari Rusia. Gedung Putih beberapa hari setelahnya mengonfirmasi rudal yang menewaskan dua penduduk itu mungkin ditembakkan oleh Ukraina untuk menangkis serangan Rusia.

Presiden Polandia Andrzej Duda pun menyatakan tidak ada indikasi serangan langsung ke Polandia. “Kami bukanlah target dari roket itu. Jadi, faktanya, Polandia tidak diserang.”

Kementerian Pertahanan Rusia juga membantah. Badan militer Rusia menunjukkan foto-foto puing yang dipublikasikan oleh media Polandia dari lokasi kejadian tidak memiliki kesamaan dengan senjata Rusia. Lagi pula, pasukan Rusia tidak melakukan serangan terhadap sasaran yang dekat dengan perbatasan Ukraina-Polandia.

Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia Dmitry Medvedev menganggap itu hanya provokasi dengan mengobarkan perang hibrida di Rusia. Bila ini terus dilakukan, dampaknya akan sangat fatal.

"Insiden dengan dugaan serangan rudal Ukraina di sebuah pertanian Polandia membuktikan hanya satu hal: mengobarkan perang hibrida melawan Rusia, Barat bergerak lebih dekat ke perang dunia," tulisnya di Twitter pada 16 November.

Kementerian Luar Negeri RI merasa prihatin atas semakin tajamnya rivalitas di antara kekuatan besar. Jika ini tidak dikelola dengan baik, tentu akan mengakibatkan konflik terbuka yang mengganggu stabilitas dan perdamaian

“Indonesia mendorong semua pihak melakukan langkah-langkah nyata guna mengurangi ketegangan yang dapat memperburuk situasi. Dunia memerlukan kearifan dan tanggung jawab para pemimpin agar perdamaian dan stabilitas dapat terjaga," tulis pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri RI beberapa waktu lalu.