JAKARTA - Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) masih dalam tahap pembahasan di DPR. Di mana Komisi I DPR telah memasukkan RUU PDP dalam Prolegnas Prioritas 2020.
Anggota Komisi I DPR RI, Abdul Kadir Karding memastikan pembahasan RUU tentang perlindungan data pribadi ini akan selesai paling lambat, pada awal tahun 2021. Hal ini dikarenakan banyaknya substansi yang harus dibahas agar regulasi ini menjadi payung hukum yang tepat bagi pengguna internet di Indonesia.
BACA JUGA:
"Kami (DPR) sangat serius membahas RUU PDP. Saya berharap, mudah-mudahan paling lambat awal 2021 ini sudah jadi sudah rampung, kami harus cepat tetapi tetap dengan kualitas UU yang baik," kata Karding, dalam webinar Alinea Forum bertajuk 'Menanti Ketegasan Komitmen Menjaga Keamanan Data Pribadi', Selasa, 21 Juli.
Menurut Karding, Komisi I DPR, telah melihat bahwa RUU PDP memiliki urgensi untuk segera disahkan. Terlebih dalam upaya negara untuk menegakkan keadulatan data informasi masyarakat indonesia pada konteks siber digital.
Diakuinya, saat ini Indonesia memang belum mempunyai kedaulatan atas big data yang diolah secara digital dan menyeluruh baik itu informasi pribadi, data e-KTP dan lain sebagainya. Sebagai contoh sederhana, Pak Tjahjo Kumolo (Mendagri) pernah bilang jika server e-KTP tidak berada di dalam negeri, sehingga untuk mengakses atau memproses data-data tersebut tidaklah mudah.
"Oleh karenanya, Pak Jokowi pernah mengatakan jika data lebih berharga dari minyak di era teknologi sekarang. Atas dasar itu DPR mengamini pernyataaan tersebut, bahwa regulasi harus disiapkan tanpa ada kompromi," ungkap politikus PKB itu.
Komoditas Big Data
Hal senada juga disampaikan Ketua Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Jamalul Izza, di mana RUU PDP merupakan regulasi yang sangat urgen untuk segera disahkan DPR. Pasalnya cukup banyak masalah potensial yang akan berkaitan dengan data pribadi, bila tanpa payung hukum yang jelas.
Sebagai contoh, hingga saat ini masih banyak data pengguna internet Indonesia yang tersimpan di luar negeri. Bila dilihat secara ekonomi, data memiliki harga dan benefit yang tak ternilai, bila dimanfaatkan oleh pihak asing yang mengerti keuntungan dari big data di dunia siber.
"Sebut saja 1 akun dihargai 2 dolar AS di marketplace dunia maya, maka dengan jumlah pengguna internet Indonesia yang mencapai 175,4 juta. Potensi income penghasilan data yang dikelola untuk negara mencapai Rp80 triliun," urainya.
Jamalul memperkirakan jika Indonesia berpotensi mendapatkan keuntungan besar atau income jika berhasil menyimpan dan mengolah data-data tersebut di dalam negeri. Dengan tujuan agar negara tidak dirugikan secara ekonomi, termasuk dilemahkan pertahanan dan keamanannya oleh pihak asing.
"Data acces governance dan data pribadi masyarakatnya harus tetap ada di Indonesia, selain karena penegakan hukum ada nilai ekonomi yang bisa dihasilkan jika data-data tersebut dimiliki Indonesia," tutupnya.
Ditambahkannya, DPR dan pemerintah Indonesia bisa mengambil contoh kebijakan dan regulasi yang telah diatur dalam General Data Protection Regulation (GDPR). Aturan itu secara keseluruhan memberikan payung hukum yang jelas dalam kedaulatan data yang dimiliki sebuah negara.