Bagikan:

JAKARTA - Sedikitnya 2,3 juta data pemilih yang bersumber dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) diunggah pada forum komunitas hacker. Bahkan sang hacker mengklaim masih memiliki 200 juta data lainnya yang akan dibocorkan.

Berdasarkan sampel data yang dibagikannya, berasal dari daftar pemilih tetap (DPT) pada Pemilu 2014. Data-data tersebut mencakup Nomor Induk Kependudukan (NIK), Nomor Kartu Keluarga (NKK) dan alamat pemilih yang sebagian besar berasal dari Daerah Istimewa Yogyakarta.  

Komisioner KPU Viryan Aziz mengatakan, kebocoran data tersebut hanya klaim sepihak. Menurut dia data-data yang dimaksud sebagian besar bisa diakses terbuka di situs KPU.

Pakar keamanan siber Pratama Persadha, menyayangkan sikap KPU terkait kebocoran data DPT tahun 2014. Menurutnya jika memang data-data itu bersifat terbuka dan bisa diakses publik, hal itu justru membahayakan.

"Meski KPU menjelaskan bahwa itu adalah data terbuka, tapi bukan berarti tidak perlu dilindungi. Data informasi sudah sepatutnya dilindungi, minimal di-enkripsi agar tidak sembarangan orang bisa memanfaatkannya," kata Pratama saat berbincang dengan VOI, Jumat, 22 Mei.

Sangat disayangkan olehnya, bila KPU menganggap data identitas pemilih dari Pemilu 2014 tidak bisa dimanfaatkan oleh pihak tak bertanggung jawab. Apalagi sebagian besar berisikan, data-data kredensial seseorang. 

“Misalnya mengkombinasikan data telepon dari marketplace dengan data KTP dan KK, jelas ini sangat berbahaya,” imbuh Pria yang juga duduk di kursi ketua lembaga riset siber Indonesia CISSReC (Communication & Informatian System Security Research Center).

Dirinya mengimbau KPU tak menyepelekan permasalahan kebocoran data ini. Lantaran perlindungan data pribadi (PDP) setiap masyarakat harus terlindungi oleh negara.

Perlu dipikirkan lebih jauh terkait pengamanan enkripsi pada data penduduk. Sehingga peristiwa semacam ini tidak akan kembali terulang di kemudian hari.

"Apalagi 2020 ada agenda pilkada, jangan sampai ini menjadi isu tersendiri bagi KPU. Selama ini sistem IT KPU selalu dijadikan rujukan saat hitung cepat hasil pemilu maupun pilkada," jelasnya Pratama.

Dari Tokopedia sampai Bukalapak

Sebelum KPU, kasus kebocoran data juga dialami oleh sejumlah laman e-commerce di Indonesia. Sebut saja dari Tokopedia, Bukalapak, hingga terbaru Bhineka.com. Data akun pengguna e-commerce itu dijajakan di situs bawah tanah dengan harga yang fantastis.

Diungkapkan ahli dari firma keamanan siber Vaksincom, Alfons Tanujaya, masalah kebocoran data di era digital saat ini bukan lagi jadi rahasia umum. Sebab banyak potensi berbahaya yang bisa dialami masyarakat ketika data pribadinya bocor. 

"Mungkin yang ada korelasinya adalah mudahnya informasi penting menyebar di era digital ini. Jadi bukan bocor atau tidak bocor, ataupun kalau mau dibocorkan tanpa dunia digital juga bisa," ungkap alfons kepada VOI, beberapa waktu lalu.

Terkait masalah data pemilih KPU yang berisikan informasi penting seperiti, NIK e-KTP dan KK akan sangat rawan disalahgunakan. Dengan bocornya data kependudukan yang penting, maka penjahat bisa melakukan penipuan hanya bermodal identitas palsu yang didapatkan. 

"Yang perlu jadi perhatian bagaimana pihak penyedia jasa memberikan perlindungan kepada data-data tersebut," imbuhnya.