Bagikan:

JAKARTA - Media sosial Facebook belum lama ini menyatakan permintaan maaf kepada peneliti karena memberi mereka data yang cacat dan tidak lengkap. Data ini digunakan untuk memeriksa bagaimana pengguna berinteraksi dengan unggahan dan tautan di platformnya.

Peristiwa ini bermula saat seorang peneliti di Universitas Urbino Italia, membandingkan laporan Facebook yang dirilis secara publik pada bulan Agustus dengan data yang diberikan hanya kepada para peneliti. Tetapi, kumpulan data itu tidak cocok.

Mengutip Washington Post, Senin, 13 September, data tersebut menyangkut efek media sosial pada pemilu dan demokrasi dan termasuk alamat web yang diklik pengguna Facebook, bersama dengan informasi lainnya.

Bertentangan dengan apa yang dikatakan perusahaan kepada para peneliti, data yang disediakan Facebook secara tidak sengaja mengecualikan data dari pengguna Amerika Serikat (AS) yang tidak memiliki kecenderungan politik yang dapat dideteksi, yakni sebuah grup yang berjumlah kira-kira setengah dari semua pengguna Facebook di AS. Data dari pengguna di negara lain tidak terpengaruh.

Permintaan maaf itu disampaikan oleh anggota tim Penelitian dan Transparansi Terbuka Facebook pada Jumat 10 September  secara langsung kepada peneliti. Namun, pada  saat yang sama, beberapa peneliti juga mempertanyakan apakah kesalahan itu disengaja untuk menyabotase penelitian, atau sekadar kelalaian.

"Kesalahan itu adalah hasil dari kesalahan teknis dan perusahaan, secara proaktif memberi tahu mitra yang terkena dampak tentang dan bekerja dengan cepat untuk menyelesaikan masalah tersebut," ungkap juru bicara Facebook, Mavis Jones.

Tetapi ternyata ini bukan kali pertama Facebook memberikan data yang tidak sempurna kepada para peneliti. Mereka beberapa kali disebut tidak memberikan data secara lengkap untuk membantu penelitian di bidang tertentu.

Seperti pada Agustus lalu, Facebook melarang peneliti akademis dari proyek Observatorium Iklan Universitas New York untuk meneliti platformnya, setelah pengamat iklan menyoroti masalah Facebook. Penelitiannya menemukan Facebook gagal mengungkapkan siapa dan berapa yang membayar iklan politik di situsnya.