JAKARTA - Para peneliti dibuat takjub dengan peristiwa ledakan bintang atau Supernova yang terjadi di antariksa, baru-baru ini. Alhasil ledakan bintang ini memancarkan sinar paling terang yang pernah ada di galaksi dalam 1.000 hari terakhir.
Ledakan Supernova yang dinamai SN2016aps ini terjadi karena tumbukan dua bintang super besar. Peristiwa Supernova ini berada di salah satu titik galaksi yang berjarak sekitar 3,6 miliar tahun cahaya dari Bumi.
"Bintang yang sangat masif seperti ini mungkin lebih umum di jagat raya yang sangat awal. Kami mungkin dapat menggunakan data ini untuk mengintip ke masa lalu untuk melihat ledakan beberapa bintang pertama," ungkap penulis pertama studi ini Matt Nicholl seperti dikutip dari Gizmodo, Rabu 15 April.
Ledakan bintang tersebut ditemukan tim peneliti dari Harvard University, Northwestern University, Ohio University dan University of Birmingham di Inggris. Melalui Panoramic Survey Telescope dan Rapid Response System, mendapati percikan cahaya atau flash yang terjadi pada 22 Februari 2016.
BACA JUGA:
Sejak saat itu, para ilmuwan meneliti serangkaian ledakan bintang selama dua tahun berturut-turut. Para astronom meyakini peristiwa supernova SN2016aps memiliki massa ledakan cahaya 500 kali lebih besar dari ukuran bintang pada umumnya. Mereka mengkategorikan SN2016aps dalam Hypernova.
"SN2016aps spektakuler dalam beberapa hal. Tidak hanya itu lebih terang daripada supernova lain yang pernah kita lihat, tetapi memiliki beberapa sifat dan fitur yang membuatnya jarang dibandingkan dengan ledakan bintang lainnya di alam semesta," ujar astronom Edo Berger dari Universitas Harvard.
Dalam catatan para astronom, energi kinetik yang dihasilkan dari ledakan SN2016aps mencapai 5x10 52 erg, atau setara dengan kejadian hypernova SN1998bw beberapa tahun silam. Bahkan pancaran cahaya kosmik yang dihasilkan SN2016aps 40 kali lebih terang dari SN1998bw yakni 1x10 43 pada puncak luminositas.
"Output energi intens dari supernova ini menunjuk ke bintang nenek moyang yang sangat masif. Saat lahir, bintang ini setidaknya 100 kali massa Matahari kita," kata Berger.
Para astronom meyakini, jika ledakan kolosal di galaksi ini tidak hanya berasal satu bintang yang mati. Ledakan SN2016aps justru menciptakan dua buah lobus dan piringan debris yang berputar mengitari inti bintang.
Para peneliti juga menemukan lonjakan gas hidrogen yang cukup masif ketika tumbukan dua bintang itu terjadi. Sebelum penemuan ini, gagasan tentang dua bintang dapat bergabung dan memberi kekuatan supernova super seperti yang disebut para astronot dengan "ketidakstabilan pasangan pulsasional" dianggap hanya teoretis.
"SN2016aps yang dipegang pada hidrogennya mendorong kami untuk berteori bahwa dua bintang yang kurang masif telah bergabung bersama, karena bintang bermassa rendah akan menahan hidrogen lebih lama," duga Berger
Ketidakstabilan pasangan pulsasional, terjadi ketika inti dari sebuah bintang berukuran masif menjadi sangat panas dan melepaskan pasangan elektron-positron, sebelum akhirnya tekanan radiasi membuat inti bintang hancur. Pada proses ini, daya ledak yang dihasilkan melebihi ledakan nuklir.
"Tapi sekarang SN2016aps telah diidentifikasi, kami akan dapat mencari lebih banyak seperti itu. Dan itu juga dapat membantu kita mengkarakterisasi ledakan luar biasa ini. Identifikasi SN2016aps telah membuka jalur untuk mengidentifikasi peristiwa serupa dari generasi pertama bintang," terang Berger.
Saat ini kesimpulannya, para peneliti telah melihat hal tersebut terjadi sekitar 10 miliar tahun setelah peristiwa Big Bang. Berger menambahkan, dengan menggunakan Large Synoptic Survey Telescope mendatang, para astronom dapat menemukan bukti lain ledakan seperti itu dari miliaran tahun pertama dalam sejarah alam semesta nantinya.