JAKARTA – Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Senin 20 Januari menandatangani perintah eksekutif yang, menurutnya, bertujuan untuk mengembalikan kebebasan berbicara dan mengakhiri sensor. Namun kebijakan itu mendapat kecaman dari para kritikus yang menyoroti tindakan Trump di masa lalu yang kerap mengancam dan menggugat jurnalis, pengkritiknya, serta lawan politiknya.
Trump dan sekutunya dari Partai Republik telah lama menuduh pemerintahan Presiden Demokrat sebelumnya, Joe Biden, mendorong pengekangan kebebasan berbicara di platform online. Tuduhan tersebut terutama terkait upaya pemerintah Biden melawan klaim palsu tentang vaksin dan pemilu.
Namun, Mahkamah Agung AS pada Juni 2024 memutuskan bahwa kontak pemerintahan Biden dengan perusahaan media sosial tidak melanggar perlindungan Amandemen Pertama AS terkait kebebasan berbicara.
Meskipun begitu, perintah eksekutif Trump tetap menuai perhatian luas. Gedung Putih dalam pernyataannya menyebut, "Selama empat tahun terakhir, pemerintahan sebelumnya menginjak-injak hak kebebasan berbicara dengan menyensor pendapat rakyat Amerika di platform online, sering kali dengan memberikan tekanan besar kepada pihak ketiga, seperti perusahaan media sosial, untuk memoderasi, menghapus, atau menekan pandangan yang tidak disetujui oleh Pemerintah Federal."
Kontroversi Tindakan Trump di Masa Lalu
Ironisnya, Trump sendiri menghadapi pembatasan media sosial setelah penyerbuan Gedung Capitol oleh para pendukungnya pada 6 Januari 2021, menyusul kekalahannya dalam pemilu 2020 melawan Joe Biden.
Selain itu, selama beberapa dekade, Trump juga dikenal kerap mengancam dan menggugat pengkritiknya atas komentar-komentar yang dibuat tentang dirinya. Pada 2022, ia gagal menggugat Hillary Clinton, lawan politiknya pada pilpres 2016, terkait tuduhan keterkaitan kampanye Trump dengan Rusia. Gugatan tersebut ditolak oleh hakim yang menyebutnya sebagai penyalahgunaan pengadilan.
Trump juga pernah menyebut jurnalis sebagai "musuh rakyat" dan menggugat lima perusahaan media, termasuk CNN, ABC News, CBS News, penerbit Simon & Schuster, dan Des Moines Register. Gugatan terhadap CNN dibatalkan, sementara ABC menyelesaikan kasusnya, dan gugatan lainnya masih berlangsung.
BACA JUGA:
Kritik dari Para Ahli
Profesor David Kaye dari Universitas California, Irvine, yang juga mantan Pelapor Khusus PBB untuk isu kebebasan berbicara, menilai perintah eksekutif tersebut sebagai langkah yang "sangat sinis" dan hanya merupakan strategi hubungan masyarakat.
"Anda tidak bisa di satu sisi mengatakan, 'Media adalah musuh rakyat,' sementara di sisi lain menyatakan, 'Kebijakan Amerika Serikat adalah untuk menjamin hak rakyat Amerika dalam kebebasan berbicara yang dilindungi konstitusi.' Kedua hal itu tidak sejalan," kata Kaye.
Ia juga menambahkan bahwa pemerintah federal sebenarnya sudah dilarang mengintervensi hak Amandemen Pertama warganya, sehingga perintah eksekutif ini tidak akan mencegah perilaku yang sudah dilarang.
Langkah ini dipandang sebagai awal dari kebijakan pemerintahan Trump yang pro-kebebasan berbicara, namun juga menimbulkan kekhawatiran tentang penerapan standar ganda dan potensi penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan politik.
Di tengah harapan akan perubahan besar dalam kebijakan nasional, perintah eksekutif ini menjadi simbol awal dari visi Trump dalam menjalani masa jabatan keduanya sebagai Presiden AS.