JAKARTA - Sampai saat ini, pemerintah masih mendesak Apple berinvestasi senilai 1 miliar dolar AS atau setara dengan Rp15,8 triliun, agar dapat menjual jajaran produk seri iPhone 16 terbarunya Indonesia.
Alasan utama mengapa seri iPhone 16 belum bisa legal diperjualbelikan di Indonesia adalah karena kendala Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang belum memenuhi syarat 40%.
Tapi sayangnya, Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia, Teuku Rifki berpendapat bahwa kebijakan TKDN di Indonesia kurang efektif dalam meningkatkan daya saing domestik.
Menurutnya, kebijakan TKDN di Indonesia cenderung bersifat by force atau paksaan, bukan melalui mekanisme pasar, sehingga dapat menciptakan distorsi pada rantai nilai global.
“Kalau iPhone yang dijual di Vietnam, di Singapura, di Malaysia, di Taiwan, itu tingkat komponen dalam negerinya bisa tinggi bukan karena kebijakan TKDN. Tapi memang karena komponen mereka itu memiliki daya saing, sehingga bisa meningkat,” kata Rifki dalam diskusi Selular Business Forum (SBF) “Menghitung Untung Rugi Larangan iPhone 16 Bagi Masyarakat dan Negara” pada Kamis, 5 Desember di Jakarta.
Selain itu, alasan kedua mengapa Apple masih mempertimbangkan investasinya di Indonesia adalah karena menurutnya regulasi dan kepastian hukum di Indonesia masih belum jelas.
Sebagai perbandingan, Rifki menjelaskan bahwa negara seperti Vietnam telah berhasil menarik investasi besar dari Apple berkat efisiensi birokrasi, tenaga kerja yang lebih kompetitif, serta kepastian hukum yang stabil.
Hal ini menunjukkan bahwa daya tarik investasi tidak semata didasarkan pada ukuran pasar domestik, tetapi juga pada ekosistem bisnis yang mendukung.
BACA JUGA:
“Jadi Permendag nya itu berubah, kalau saya tidak salah, 4 kali dalam 3 bulan. Bayangkan Apple melakukan investasi di sini, enggak tahu bulan depan apakah mereka bisa impor bahan yang mereka butuhkan atau enggak, dan itu sangat costly untuk bisnis,” jelasnya.
Rifki menambahkan, Apple dan perusahaan global lainnya adalah entitas bisnis yang berorientasi pada keuntungan, bukan entitas politik.
“Jadi bayangkan kalau (Anda) menjadi Apple, investor, sangat tidak make sense untuk investasi di Indonesia,” tutupnya.