Bagikan:

JAKARTA - Meroketnya harga Bitcoin baru-baru ini telah mendorong para miner atau penambang Bitcoin untuk melepas sebagian besar aset mereka. Pada 13 November, harga Bitcoin mencapai titik tertinggi baru (ATH) sebesar 93.400 dolar AS (Rp1,475 miliar).

Torehan ini menjadi momentum bagi para penambang untuk menjual sekitar 25.000 BTC senilai lebih dari 2,25 miliar dolar AS (Rp35,55 triliun), menurut data dari CryptoQuant. 

Aksi jual besar-besaran ini tercatat sebagai yang tertinggi sejak Mei 2024, menunjukkan besarnya tekanan dari sisi penawaran ketika harga mencapai puncaknya. Data menunjukkan bahwa lonjakan arus keluar BTC dari dompet penambang ke bursa, yang dikenal sebagai Miner Total Outflows, seringkali berkorelasi dengan harga tertinggi lokal atau penurunan harga. Namun, dengan kondisi pasar yang saat ini dipenuhi euforia dan “keserakahan ekstrem”, belum dapat dipastikan apakah tren ini akan berlanjut atau akan ada perubahan.

Dalam beberapa pekan terakhir, tingkat kesulitan penambangan Bitcoin juga mencapai rekor baru di atas 100 triliun unit, menandakan ketatnya persaingan antarpenambang untuk memproses blok di jaringan. Meskipun persaingan semakin sengit, para penambang masih mampu memperoleh keuntungan. Pendapatan harian penambang naik dari 29 juta dolar AS (Rp458,2 miliar) menjadi lebih dari 40 juta dolar AS (Rp632 miliar) dalam dua minggu terakhir.

Kenaikan pendapatan ini kemungkinan didorong oleh minat pasar yang meningkat terhadap Bitcoin pasca kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden AS, yang dianggap mendukung industri Bitcoin dan kripto secara umum. Pandangan positif ini mendorong harga BTC, yang berdampak langsung pada profitabilitas para penambang.

Menurut data dari MacroMicro, pada 12 November, biaya rata-rata penambangan satu BTC mencapai 82.400 dolar AS (Rp1,301 miliar). Dengan harga BTC di sekitar 90.000 dolar AS (Rp1,422 miliar), penambang menikmati margin positif sekitar 8.000 dolar AS (Rp126,4 juta) per BTC.