JAKARTA – University of New Hampshire terpilih sebagai pengembang Sensor Plasma Angin Surya untuk Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional (NOAA) AS. Teknologi ini akan menjadi bagian dari program.
Kontrak pembangunan Seri Lagrange 1 ini diserahkan oleh NASA pada Kamis, 24 Oktober. Kontrak senilai 24,3 juta dolar AS (Rp380 miliar) ini akan mencakup pengembangan dua sensor yang dapat mempelajari aliran angin surya secara stabil.
Sensor yang universitas itu kembangkan akan mengumpulkan berbagai data untuk membantu negara dalam memahami cuaca antariksa. Data ini bisa menunjukkan dampak buruk dari badai matahari, seperti gangguan radio, satelit, hingga GPS.
"Sensor Plasma Angin Surya akan mengukur angin surya, aliran plasma panas supersonik dari Matahari, dan menyediakan data ke Pusat Prediksi Cuaca Antariksa NOAA, yang mengeluarkan prakiraan, peringatan, dan siaga yang membantu mengurangi dampak cuaca antariksa," jelas NASA.
BACA JUGA:
Kontrak yang NASA serahkan atas nama NOAA akan berjalan selama sembilan tahun hingga instrumen kedua diluncurkan. Perangkat ini akan dikembangkan di fasilitas University of New Hampshire, Durham dan di Laboratorium Fisika Terapan Johns Hopkins.
"University of New Hampshire akan merancang, menganalisis, mengembangkan, membuat, mengintegrasikan, menguji, memverifikasi, dan mengevaluasi sensor, mendukung peluncurannya, memasok dan memelihara peralatan pendukung darat instrumen," kata NASA.
Lembaga antariksa AS itu menambahkan bahwa University of New Hampshire harus mendukung operasi misi pasca-peluncuran. Sementara itu, NASA dan NOAA akan mengawasi pengembangan, peluncuran, pengujian, dan pengoperasian semua satelit dalam proyek Seri L1.