Bagikan:

JAKARTA – TikTok dan perusahaan induknya yang berbasis di China, ByteDance, tengah menghadapi perdebatan sengit di pengadilan banding AS dalam upaya mereka untuk membatalkan undang-undang yang akan melarang aplikasi video pendek tersebut di Amerika Serikat mulai 19 Januari 2025. Dalam sidang yang berlangsung selama dua jam pada  Senin, 16 September, pengacara TikTok, Andrew Pincus, berusaha meyakinkan pengadilan bahwa undang-undang yang melarang aplikasi tersebut melanggar perlindungan kebebasan berbicara sebagaimana diatur dalam Konstitusi AS.

Tiga hakim dari Pengadilan Banding Distrik Columbia AS, yaitu Sri Srinivasan, Neomi Rao, dan Douglas Ginsburg, mengajukan serangkaian pertanyaan sulit kepada Pincus yang berargumen bahwa undang-undang tersebut menargetkan TikTok secara tidak adil dan mengancam kebebasan 170 juta pengguna Amerika.

"Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Kongres AS secara eksplisit menargetkan sebuah perusahaan tertentu dan melarangnya untuk menyebarkan informasi," kata Pincus dalam sidang tersebut.

Undang-undang ini, yang disahkan pada April 2024 dan ditandatangani oleh Presiden AS, Joe Biden, mewajibkan ByteDance untuk menjual atau melepaskan aset TikTok di AS sebelum batas waktu 19 Januari 2025. Jika tidak, TikTok akan dilarang beroperasi di Amerika Serikat. Langkah ini didorong oleh kekhawatiran bahwa pemerintah China dapat mengakses data pengguna Amerika atau menggunakan aplikasi tersebut untuk memata-matai warga AS.

Jaksa Departemen Kehakiman AS, Daniel Tenny, yang mewakili pemerintah dalam sidang tersebut, menegaskan bahwa TikTok menimbulkan ancaman serius bagi keamanan nasional AS. Menurut Tenny, aplikasi ini, yang terdiri dari lebih dari dua miliar baris kode dan diubah hingga 1.000 kali setiap hari, membuatnya sangat sulit bagi pemerintah AS untuk mendeteksi dan mengendalikan potensi manipulasi oleh pihak China. "Ada begitu banyak hal yang terjadi di China di luar kendali AS, yang membuatnya menjadi risiko keamanan nasional yang besar," tegas Tenny.

Selain itu, Tenny menyebutkan bahwa risiko ini melampaui hanya masalah data pengguna, tetapi juga potensi manipulasi informasi yang dikonsumsi oleh warga AS melalui aplikasi tersebut, yang dapat digunakan untuk mengganggu stabilitas politik atau sosial di negara tersebut.

Pincus, di sisi lain, menolak tuduhan tersebut dan menyatakan bahwa pemerintah AS belum menunjukkan bukti konkret bahwa TikTok benar-benar digunakan oleh pemerintah China untuk tujuan spionase atau manipulasi.

"Undang-undang ini merupakan pelanggaran yang jelas terhadap Amandemen Pertama, yang melindungi kebebasan berbicara di Amerika Serikat," kata Pincus. Ia  menambahkan bahwa undang-undang tersebut adalah upaya pemerintah untuk menggunakan alasan keamanan nasional untuk membungkam sebuah perusahaan teknologi dan penggunanya.

Sidang ini merupakan bagian dari gugatan yang diajukan oleh TikTok dan ByteDance pada Mei 2024 untuk mencari injunksi guna mencegah undang-undang tersebut berlaku. Jika undang-undang ini ditegakkan, TikTok berpendapat bahwa hal tersebut akan menciptakan preseden berbahaya di mana pemerintah dapat menutup atau memaksa penjualan platform digital hanya dengan mengklaim alasan keamanan nasional.

Kasus ini juga menarik perhatian luas karena mencerminkan ketegangan yang terus meningkat antara AS dan China dalam bidang teknologi dan keamanan data. TikTok, yang memiliki lebih dari 170 juta pengguna di Amerika Serikat, telah lama menjadi sorotan dalam diskusi mengenai bagaimana perusahaan teknologi global harus mengelola data pengguna di tengah meningkatnya kekhawatiran akan pengawasan negara.

Hingga saat ini, pengadilan belum membuat keputusan akhir, namun hasil dari persidangan ini akan berdampak besar bagi masa depan TikTok di AS serta implikasi yang lebih luas terkait kebebasan berbicara dan kontrol pemerintah terhadap perusahaan teknologi.