Bagikan:

JAKARTA - CrowdStrike  menghadapi gugatan dari pemegang saham yang menuduh perusahaan cybersecurity tersebut melakukan penipuan dengan menyembunyikan fakta tentang uji coba perangkat lunaknya yang tidak memadai, yang diduga menyebabkan pemadaman global pada 19 Juli lalu.

Pemadaman ini mengakibatkan lebih dari 8 juta komputer crash, termasuk sistem maskapai penerbangan, bank, rumah sakit, dan saluran darurat di seluruh dunia.

Gugatan class action yang diajukan pada Selasa malam 30 Juli di pengadilan federal Austin, Texas, menyatakan bahwa pemegang saham baru mengetahui bahwa jaminan CrowdStrike tentang teknologinya ternyata materialnya salah dan menyesatkan setelah pembaruan perangkat lunak yang cacat mengganggu berbagai sektor penting.

Sebagai akibat dari insiden tersebut, harga saham CrowdStrike merosot sebesar 32% dalam waktu 12 hari berikutnya, menghapus  25 miliar dolar AS (Rp405,4 triliun) dari nilai pasar perusahaan. CEO CrowdStrike, George Kurtz, dipanggil untuk bersaksi di Kongres AS, dan Delta Air Lines dilaporkan mempekerjakan pengacara terkenal David Boies untuk menuntut ganti rugi.

Dalam pernyataannya pada Rabu, 31 Juli, CrowdStrike yang berbasis di Austin mengatakan: "Kami percaya kasus ini tidak berdasar dan kami akan membela perusahaan ini dengan gigih." Kurtz dan Chief Financial Officer Burt Podbere juga menjadi terdakwa dalam gugatan tersebut.

Gugatan yang dipimpin oleh Plymouth County Retirement Association dari Plymouth, Massachusetts, meminta ganti rugi yang tidak ditentukan untuk pemegang saham CrowdStrike Kelas A antara 29 November 2023 dan 29 Juli 2024.

CEO Delta, Ed Bastian, mengungkapkan kepada CNBC pada Rabu bahwa pemadaman tersebut mengakibatkan kerugian sebesar  500 juta dolar AS (Rp8,1 triliun) untuk maskapainya, termasuk pendapatan yang hilang dan kompensasi serta hotel untuk penumpang yang terdampar.

Saham CrowdStrike ditutup pada Rabu turun  1,69 dolar AS menjadi  231,96 dolar AS, setelah sebelumnya ditutup pada  343,05 dolar AS sehari sebelum pemadaman.