JAKARTA - Serangkaian penculikan yang menargetkan eksekutif asing mengguncang Filipina, di mana para penculik menuntut tebusan dalam bentuk kripto, USDT. Kejadian ini menyoroti tren mengkhawatirkan di mana penjahat menggunakan aset digital untuk meminta tebusan.
Menurut informasi CCN, pada 20 Juni, Xia Kefu, seorang direktur pemasaran berusia 39 tahun dari Suzhou Runmed Medical Technology, dan Sun Jing, seorang pengusaha China-Amerika berusia 45 tahun, melakukan perjalanan ke Filipina setelah diundang untuk berpartisipasi dalam sebuah usaha bisnis. Namun, perjalanan mereka segera berubah menjadi mimpi buruk.
Menurut sumber lokal China, pada 21 Juni, keluarga kedua korban menerima panggilan dari penculik yang menuntut mereka mengumpulkan 15 juta yuan, sekitar 2 juta Dolar AS (setara Rp33 miliar), mengonversinya ke USDT, dan mentransfernya ke akun yang ditentukan. Dalam keputusasaan mereka, keluarga korban mencoba bernegosiasi dengan para penculik dan melakukan perjalanan ke Filipina.
Meskipun telah membayar tebusan sebesar 6 juta peso, sekitar 109.000 Dolar AS (setara Rp1,7 miliar), nasib tragis menimpa keluarga tersebut pada 27 Juni ketika polisi mengonfirmasi bahwa kedua pria tersebut ditemukan tewas di dekat Manila.
BACA JUGA:
Nasib tragis Kefu dan Jing bukanlah insiden terisolasi. Laporan lokal mengungkapkan kasus serupa di mana dua eksekutif asing dari industri perangkat medis juga diculik. Seperti korban sebelumnya, Li Jia, seorang eksekutif China, dan teman Austria-China-nya Zhao Dong juga diundang ke Filipina untuk urusan bisnis. Tragisnya, mereka mengalami nasib yang sama dengan Kefu dan Jing.
Mereka diculik, dan penculik menuntut tebusan sebesar 10 juta peso (sekitar 182.000 Dolar AS atau setara Rp2,9 Miliar), di mana 6 juta peso (sekitar 109.000 Dolar AS atau setara Rp1,7 miliar) dibayar dalam USDT. Meskipun tebusan telah dibayar, para korban tetap dibunuh.
Kedutaan Besar China di Filipina bergerak cepat, bekerja sama dengan kelompok Antikidnapping Filipina dan polisi. Pada 2 Juli 2024, dalam konferensi pers rutin, Mao Ning, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, menekankan urgensi untuk meningkatkan langkah-langkah perlindungan bagi warga China yang bekerja sama dengan kedutaan di Manila.
Di China, USDT dan aset kripto lainnya dilarang. Pelarangan ini merupakan bagian dari upaya negara untuk mengurangi risiko keuangan dan mengendalikan sistem keuangannya. Hal ini menambah kompleksitas dalam melacak transaksi kripto dan penerapan penegakan hukum.
Aset kripto yang tidak dapat dilacak oleh otoritas menimbulkan tantangan rumit bagi penegak hukum dalam melacak pembayaran tebusan. Situasi ini diperparah oleh pelarangan ketat China terhadap aset kripto, yang semakin mempersulit upaya melacak transaksi tersebut.